Perjalanan Panjang Menuju Kyoto (3): Mencari Beasiswa

Pada awalnya, calon supervisor saya di Doshisha University (Sensei Eiji Oyamada) berjanji akan mencarikan peluang beasiswa dari Pemerintah Jepang.  Beliau…
1 Min Read 2 22

Pada awalnya, calon supervisor saya di Doshisha University (Sensei Eiji Oyamada) berjanji akan mencarikan peluang beasiswa dari Pemerintah Jepang.  Beliau beberapa kali menginformasikan tentang peluang-peluang itu, termasuk juga mengkomunikasikan dengan pimpinan universitasnya untuk memperoleh potongan biaya kuliah bagi saya kelak.

Pada saat yang sama, saya mendengar dari beberapa rekan tentang peluang untuk memperoleh beasiswa S3 luar negeri yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) khusus untuk dosen.  Saya berpikir sangat pragmatis: mana yang lebih dulu dapat, itulah yang akan saya ambil.

Sikap ini saya ambil karena pada masa-masa yang lalu, sebagaimana kebanyakan teman-teman yang ingin sekolah lainnya, saya pernah mendaftar di banyak program beasiswa.  Tentu saja tidak satupun yang berhasil (itulah kenapa postingan ini saya tulis… LOL).  Konon, ada trik khusus saat mendaftar beasiswa.  Saya juga telah mempelajarinya, tetapi prestasi tertinggi saya adalah dipanggil wawancara.

Pernah sekali waktu, saya mendaftar beasiswa Stuned (ke Belanda) dan British Chevening sekaligus.  Keduanya tidak lulus.  Pada saat yang sama, ada seorang scholarship hunter yang juga mendaftar di kedua beasiswa itu, dan keduanya lulus. Mungkin seleksinya memang ketat, dan mungkin kandidat yang lulus di kedua beasiswa itu hebat.

Belakangan, saya ragukan hal itu.  Sebab, di kedua beasiswa itu tertulis jelas salah satu syarat kandidat adalah “telah bekerja dibidangnya minimal 2 tahun”.  Dan kandidat yang lulus dikedua beasiswa itu adalah fresh graduate! LOL… LOL… LOL…

Hampir semua beasiswa selalu memiliki sisi-sisi aneh seperti itu.  Dengan kata lain, bahkan beasiswa yang berasal dari negara maju sekalipun “bisa diatur” pemenangnya.  Sudah pasti bukan dengan suap.  Tapi, saya yakin sekali, dengan kolusi dan nepotisme!

Maka, saya memutuskan untuk mendahulukan daftar di seleksi beasiswa Dikti.  Pertimbangan saya, ini beasiswa “targeted” untuk dosen.  Selain itu, saya mendengar bahwa kuota penerima beasiswa ini selalu tidak tercapai dari tahun ke tahun.  Hal lainnya, saya pikir kalau memang dibutuhkan untuk kolusi dan nepotisme, bisalah saya minta tolong kepada beberapa kenalan.

Amazingnya, saya berhasil lulus beasiswa Dikti ini tanpa perlu kolusi dan nepotisme.  Cukup mendaftar saja, melengkapi dokumen-dokumen yang dibutuhkan, lulus berkas, dipanggil wawancara, dan dinyatakan lulus untuk Gelombang 5 tahun 2011. Alhamdulillah yah… Ternyata itu sesuatu yah… *Syahrini mode on* 🙂

Postingan berikut, akan saya share lika-liku mendaftar Beasiswa S3 Luar Negeri Dikti.  Ada tips dan trik-nya ternyata.  Setelah mengalami sendiri, tidak salah kalau pengalaman ini saya bagikan…

admin

2 thoughts on “Perjalanan Panjang Menuju Kyoto (3): Mencari Beasiswa

  1. Gak smua beasiswa pakai kolusi dan nepotisme. Buktinya, sy pertama tes beasiswa di ford, dan gak pakai trik apapun, tiba2 bisa lolos. Mnurut sy, beasiswa itu soal nasib-nasiban. Kt tak pernah tau kpn rezeki akan datang. Tapi ketika beasiswa itu datang, saat itulah kt sadar kalau kita amat beruntung. Thanks

    1. Betul, Yus… Memang tidak semua, misalnya Fullbright dan Monbusho juga. Tapi memang ada beberapa. Dan “garis tangan” juga berpengaruh… Itulah sebabnya, ketika mendapat beasiswa, saya pribadi tidak berpikir bahwa saya hebat, tetapi saya beruntung… hehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *