Pilkada serentak yang berlangsung pada tanggal 27 Juni 2018 juga menjadi perhatian dunia internasional. Hajatan demokrasi untuk memilih 17 gubernur, 39 walikota, dan 115 bupati ini diberitakan oleh media-media internasional, dengan sudut pandang beragam. Bagaimanapun, 171 Pilkada secara simultan pastilah menarik, baik dari sisi politik, ekonomi, bahkan human interest.

Namun demikian, sebagian besar media internasional melihat Pilkada serentak ini sebagai babak pendahuluan dari pertarungan pemilihan presiden 2019.

The Economist, misalnya, menurunkan laporan berjudul “Local elections in Indonesia prefigure next year’s presidential poll“. Media menguraikan bagaimana kedua poros besar yang sekarang telah terpola (yaitu pro dan anti petahana) merasa puas dengan hasil Pilkada serentak ini.

Koalisi partai pendukung Jokowi dan pendukung oposisi nampak sangat cair dan miskin greget ideologi. Pengurus partai ramai-ramai membela diri dengan istilah “setiap daerah memiliki karakter lokalitas yang khas, sehingga bisa saja dua partai saling berseteru di tingkat nasional, namun justru berkoalisi di tingkat Pilkada”.

The Economist juga meyakini bahwa Pilkada serentak ini memberi gambaran bagaimana peta suara pada 2019 yang kian dekat. Daerah-daerah yang melakukan Pilkada ini berpenduduk hampir 175 juta jiwa, dari total 260 juta penduduk Indonesia.

Nikkei, media bisnis Jepang, bahkan secara terang-terangan menulis laporan dengan judul: “Indonesia local elections sounds warning for Widodo“. Sebaliknya, Reuters malah menilai kalau hasil pemilihan ini merupakan sinyal baik bagi Jokowi, seperti diulas pada artikel: “Unofficial counts show regional Indonesia polls favoring President Widodo“.

Bloomberg, media yang lebih fokus ke berita ekonomi-politik, mengangkat judul “Jokowi’s Battle for Indonesian Presidency Begins With Local Election“. Ujian kontestasi pilpres, kata Bloomberg, diuji dari Pilkada ini dengan perhatian khusus pada peta suara di Jawa Barat, propinsi dengan lebih 30 juta pemilih dari 152 juta pemilih Indonesia.

Propinsi Jawa Barat memiliki nilai penting, kata Bloomberg karena beberapa faktor. Dari sisi elektoral, propinsi ini pada Pemilu Presiden 2014 merupakan basis Prabowo, yang sekarang menjadi pemimpin oposisi. Pengaruh Partai Demokrat, dimana putra mahkota Agus Harimurti Yudhoyono sedang diperjuangkan untuk menjadi pasangan Jokowi pada 2019, juga cukup strategis di daerah ini.

Dari sisi ekonomi, Jawa Barat merupakan ujian publik terhadap janji pembangunan ekonomi Jokowi. Propinsi ini memiliki angka pengangguran tertinggi di Indonesia, yaitu 8.16%, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 5.13%. Kebijakan ekonomi Jokowi direspon beragam di propinsi ini, kata Bloomberg.

Ridwan Kamil yang diusung PDI-P memang diperkirakan tampil sebagai pemenang (versi Quick Count). Namun, perolehan suara kandidat usungan Gerindra, Sudradjat-Syaikhu, melejit jauh di atas prediksi berbagai lembaga survei pra pemilihan.

Tidak hanya persoalan rivalitas Jokowi-Prabowo dan Pilpres saja yang menjadi perhatian media asing. Deutsche Welle, misalnya, menyoroti tampilan dan suasana pemilihan. Melalui artikel berjudul “In Indonesia, voting doesn’t have to be boring“, media Jerman ini menurunkan laporan tentang petugas pemungutan suara yang berkostum unik, atau desain lokasi yang dibuat unik.

Bagi publik politik Indonesia, Pilkada serentak 2018 memiliki beberapa hasil unik. Di Makassar, pasangan calon walikota Appi-Cicu dikalahkan oleh kotak kosong menurut hasil Quick Count. Di Kabupaten Tulungagung, kandidat yang saat ini sedang ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syahri Mulyo, berhasil memenangkan Pemilu.

Sayangnya, hal unik dalam politik ini justru tidak mendapat perhatian media internasional.(*)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *