Meski bukan ahli hukum, tapi saya membaca-baca juga undang-undang dan aturan. Tentu saja, membaca aturan penting untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara, tidak semata-mata untuk menjadi ahli hukum. Apalagi setelah Pilkada Makassar menampilkan hasil menarik.
Berkaitan dengan Pilwali Makassar yang baru selesai digelar, tiba-tiba saya merasa ada semacam celah legal yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak dengan pragmatisme tinggi. Ini berpotensi menjadi debat diantara para aktor politik, penyelenggara, ahli hukum, dan aparat penegak hukum. Bahkan, jika tidak diantisipasi dini, celah ini berpotensi menciptakan kerawanan sosial politik di level grass root.
Saya menggunakan istilah “kekosongan hukum”, karena setelah mencari-cari dasar hukumnya, koq tidak ketemu. Maka, pengantar ini saya tulis untuk memantik diskusi. Biar tidak capek menulis berulang-ulang, kotak kosong disingkat saja KK, dan Appi-Cicu disingkat AC.
Hasil Pilwali Makassar
Jelas sekali, akan ada perbedaan pendapat soal hasil Pilwali Makassar 2018. Sambil menunggu hasil resmi KPU (infonya sekitar tanggal 4 atau 5 Juli mendatang), masing-masing pihak telah mengklaim kemenangan.
Pendukung KK klaim menang berdasarkan hasil Quick Count. Klaim ini dipertegas oleh Walikota incumbent (yang gagal bertarung) dengan mendeklarasikan kemenangan KK. Seperti dilansir Kompas Online, Danny klaim KK peroleh lebih 53% suara, sementara AC hanya meraih lebih 46% suara. Data ini, kata Danny, berdasarkan “real count”. Deklarasi Danny dilengkapi dengan “sujud syukur” ?.
Disisi lain, AC dan pendukungnya juga klaim menang. Dengan menggunakan sumber “data form C1” yang dihitung real oleh tim internal, AC klaim peroleh 51.45% suara. KK, menurut versi ini, meraih 48.55% saja. Beberapa saat setelah umumkan hasil ini, pendukung AC gelar konvoi kemenangan.
Sengketa Pilkada
Pada waktunya, KPU akan umumkan hasil resmi, pilihannya hanya dua: KK atau AC menang. Melihat kecenderungan sekarang, dapat dipastikan akan terjadi sengketa Pilkada.
UU menyebutkan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa Pilkada adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam waktu paling lambat 3 hari setelah pengumuman hasil resmi oleh KPU, Peserta Pemilihan dapat ajukan gugatan. MK harus selesaikan paling lambat 45 hari. Tentu saja, gugatan itu harus disertai bukti.
UU juga menyebutkan, syarat agar sengketa hasil Pilkada dapat diajukan ke MK adalah selisih perolehan suara antara 0.5% s.d. 2%. Untuk Kota Makassar dengan penduduk lebih 1 juta jiwa, maka selisih suara yang dapat disengketakan ke MK adalah 0.5%.
Mengacu pada klaim KK (53% versus 46%) maka ada selisih suara 7%. Sementara, klaim AC (51.45% versus 48.55%) maka ada selisih seuara sebesar 2.9%.
Selain itu, UU Pilkada juga menyebutkan bahwa gugatan sengketa Pemilu itu dilakukan oleh “peserta pemilihan“. Dalam UU ini tidak disebutkan bahwa KK memenuhi kriteria Peserta Pemilihan. Sebab peserta pemilihan itu dikenakan kewajiban-kewajiban (seperti hari melaporkan tim kampanye, harus melaporkan dana kampanye, dan lain-lain). Semua itu tidak ada di sisi KK.
Artinya, jika klaim masing-masing benar (bahkan diselaraskan dengan margin of error sekitar 1% yang menjadi standar QC), besar kemungkinan sengketa Pilkada Makassar tidak bisa dibawa ke MK. Begitu juga, jika selisih berada pada ambang batas yang dapat disengketakan, namun yang dirugikan adalah KK, apakah bisa dibawa ke MK?
Isu Netralitas
Masa-masa penghitungan yang kini sedang berlangsung merebak isu netralitas dan obyektifitas penyelenggara, terutama KPU. Media massa sedang diramaikan dengan pelarangan bagi wartawan untuk meliput proses rekap di tingkat PPK. Pelarangan ini menyebabkan tidak adanya transparansi proses rekap, sehingg timbul dugaan ada pihak yang sedang ingin “mengubah” hasil akhir Pilwali Makassar.
Kecurigaan seperti ini wajar, sebab dalam praktek rekapitulasi hasil Pemilu dan Pilkada sejak masa reformasi selalu diwarnai dengan dugaan kecurangan, dengan cara mengubah angka-angka hasil rekap. Seperti halnya karakter kecurangan dan kejahatan, “baunya ada, tetapi tidak bisa dibuktikan”. Apalagi, tidak sulit “mengubah” perolehan suara 130 menjadi 180, atau menambahkan angka 1 didepan hasil suara yang hanya 2 digit.
Hope for the best, but plan for the wrost. Kita berharap yang terbaik, yaitu penyelenggara benar-benar netral dan obyektif. Namun, tidak salah jika kita mengantisipasi kemungkinan terburuk, yaitu betul terjadi hasil rekap tidak sesuai harapan.
Tiga Skenario
Dalam pandangan saya, melihat kecenderungan dinamika yang saat ini sedang berlangsung, maka ada 3 skenario yang mungkin akan dijalankan oleh elit-elit politik, baik secara murni karena hasil manipulasi.
Skenario pertama, hasil rekap KPU seirama dengan hasil QC, yaitu kemenangan signifikan KK. Kalaupun ada selisih, mungkin masih dalam batas margin of error, yaitu plus-minus 1%, sehingga selisih akhir berkisar pada angka 5%.
Mau tidak mau, hasil ini akan diterima oleh AC, sebab hasilnya tidak berada pada rentang yang memenuhi syarat untuk disengketakan di MK (yaitu maksimal selisih 0.5%). Maka, kita harus segera bersiap menghadapi Pilkada ulang Walikota Makassar pada 2020. Artinya, Pilkada 2018 ini tidak menghasilkan Walikota, tetapi Wali-Kotak… (hehehe).
Skenario kedua, hasil rekap KPU sesuai dengan klaim AC, yaitu kemenangan calon tunggal ini dengan selisih sekitar 2.9%, atau mungkin dengan selisih tipis (yaitu dibawah 0.5%).
Skenario kedua ini sangat mengandung resiko sosial politik tinggi. Publik Makassar sedang euforia dengan kemenangan KK, ada semacam kebanggaan masyarakat karena “berhasil” unjuk kekuatan terhadap monopoli aktor-aktor politik konvensional (terutama partai politik) yang selama ini dianggap selalu mempermainkan rakyat. Jika saja KPU benar memenangkan AC, akan timbul public distrust, bahkan berpotensi memicu terjadi “public unrest”. Ini sesuai yang sebaiknya tidak terjadi.
Jika skenario kedua ini terjadi, potensi gesekan terutama dilevel grass-root sangat tinggi, sebab tidak ada kanal alternatif untuk menyelesaikan sengketa. Selain karena hasilnya berbeda dengan harapan publik, sesuai UU Pilkada, KK bukan peserta pemilihan. Akibatnya, KK tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan.
Artinya, jika AC menang dengan selisih suara yang dapat disengketakan, kasus ini tidak bisa dibawa ke MK. Kemana publik akan menyalurkan ketidakpuasan mereka?
Skenario ketiga, hasil rekap KPU memenangkan KK, namun dengan selisih “yang diatur sedemikian rupa” sehingga berada dalam ambang batas “dapat disengketakan di MK”. Artinya, selisih kemenangan KK terhadap AC adalah maksimal 0.5%.
Kelihatannya, skenario ketiga ini menjadi jalan logis dan realistis secara politik. Semua pihak akan merasa puas. Masyarakat Makassar akan tetap senang karena berhasil mengalahkan calon tunggal. Sementara calon tunggal AC juga dapat menerima karena ada ruang untuk mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi.
Harapan Rakyat
Tentu saja, sebagai warga negara yang menganut prinsip demokrasi, saya dan kita semua sangat berharap agar KPU sebagai penyelenggara bersikap netral dan obyektif. Namun demikian, pelajaran dari politik Indonesia selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa perilaku pragmatis, tergila-gila pada kekuasaan, lemahnya integritas, masih menjadi momok yang menakutkan.
Penyelenggara kita, terutama KPU, mungkin saja diisi oleh sosok-sosok kompeten dengan akhlak baik dan terhormat. Namun tekanan politik bisa jadi sulit mereka hindari. Kita banyak belajar dari sejarah politik, bukan saja di Indonesia, bahkan di dunia.
Selain itu, ke depan perlu ada revisi UU Pilkada untuk merancang representasi aktorial dari KK. Sehingga, KK kosong bukan saja pertanda “kegagalan kaderisasi menghasil calon pemimpin”, tetapi benar-benar menjadi representasi suara rakyat.
Langkah penting yang perlu disegerakan adalah transparansi. Demokrasi hanya dapat bekerja optimal, jika terdapat kesempatan yang sama bagi semua pihak (termasuk masyarakat) untuk mengakses informasi publik.
Rekap hasil pemilihan seharusnya bukan rahasia.(*)
(catatan: kredit foto tribunnews.com)