Saya tertarik dengan ulasan Denny JA yang coba menjelaskan tentang besarnya selisih hasil Pilgub antara Ahok dan Djarot versus Anies dan Sandi. Terutama pada point ke-3, yaitu: pembagian sembako oleh kubu Ahok di masa minggu tenang.

Sehari jelang pemilihan saya berada di Jakarta. Salah satu stasiun TV Swasta mengulas dan menayangkan berkali-kali peristiwa pembagian sembako. Ulasan-ulasannya juga fokus pada money politics. Menurut Denny JA, publik kelas menengah atas yang merupakan pemilih loyal merasa tidak suka dan marah dengan peristiwa ini.  Ahok dianggap melanggar komitmen demokrasi dan pendidikan politik yang dia usung.

Sehari setelah pemilihan, Ahok bertemu Anies. Sambil bercanda, konon, sang petahana ini bilang: “Kalau saya menang, bisa jadi demo setiap hari di Jakarta”.

Saya merasa kalimat ini ada benarnya. Pilgub DKI 2017 dipenuhi dilema bagi.

Pada satu sisi, ada kontestasi politik di Pilgub. Di sisi lain, urusan hukum sedang berproses di pengadilan yang penuh tekanan kelompok masyarakat tertentu. Sehingga tersedia beberapa skenario untuk itu.

Skenario Ahok

Skenario pertama adalah Ahok menang Pilgub, dan menang di pengadilan. Jika ini terjadi, Jakarta akan membara. Sentimen kebencian terakumulasi karena dua hal, yaitu: ia adalah Gubernur Jakarta dan ia dinilai menista agama Islam. Ini skenario paling menguntungkan baginya, tetapi paling mengandung resiko bagi kehidupan sosial politik Jakarta dan Indonesia. Sentimen “anti” banyak hal akan meluber ke berbagai daerah.

Skenario kedua adalah Ahok menang Pilgub dan “kalah” di pengadilan. Pengertian kalah disini adalah ia dinyatakan bersalah dan dipenjara. Jika ia dinyatakan bersalah tetapi hanya dihukum percobaan, masih belum dapat dikatakan “kalah”. Jika ini terjadi, ia akan dilantik dalam penjara, dan akan segera dicopot sebagai Gubernur padahal ia baru saja menang. Maka, sama saja ia akan kehilangan keduanya: hilang jabatan Gubernur dan dipenjara pula.

Skenario ketiga adalah Ahok kalah Pilgub, tetapi “menang” di pengadilan. Sekali lagi, konteks “menang” disini bisa saja ia dinyatakan bersalah tetapi dijatuhi hukuman percobaan. Ia jelas akan kehilangan jabatan Gubernur. Akan tetapi ia masih memiliki ruang politik yang luas untuk berkiprah selain sebagai Gubernur.

Skenario keempat adalah Ahok kalah Pilgub dan juga “kalah” di pengadilan, yaitu dihukum penjara. Nampaknya, hal inilah yang paling tidak diinginkan sang mantan Bupati Belitung ini. Ia kehilangan segala hal.

Secara rasional, pilihan terbaik adalah skenario ketiga, yaitu kalah di Pilgub DKI tetapi “menang” di pengadilan. Jika saja bisa memilih, dapat dipastikan Ahok akan memilih skenario ini. Dan, nampaknya, inilah yang sedang “dipilih”.

Hingga beberapa saat sebelum pemilihan, berbagai hasil survei oleh lembaga kredibel masih percaya bahwa pemenang Pilgub DKI masih sulit ditentukan. Dengan selisih survei antara 1% – 2% dan margin of error di kisaran 5%, tidak ada lembaga survei yang berani memastikan kemenangan sebelum pencoblosan.

Seperti kata Denny JA, suara petahana akhirnya tergerus oleh sembako. Dengan kedok pasar murah, publik tahu bahwa penjualan (beberapa malah dibagikan gratis) sembako adalah upaya menarik suara pemilih yang berada pada status ekonomi menengah ke bawah.

Gagasan sembako ini sama sekali bukan berasal dari Basuki Tjahaja Purnama. Berkali-kali ia tegaskan sudah move on dari praktek politik sembako. Tetapi bagi PDI-P, partai yang selalu mengaku berpihak pada wong cilik, sembako masih jadi alat politik yang penting. Lihat berita Kompas tanggal 18 April, sehari jelang pemilihan disini. Cukup jelas perbedaan pandangan dengan PDI-P, khususnya Eva Sundari, soal isu sembako.

Ahok nampaknya tidak cukup kuat melawan keinginan PDIP-P. Atau bisa jadi, sengaja membiarkan saja praktek itu, meskipun ia cukup tahu dampaknya terhadap kelompok pemilih menengah atas akan seperti apa.

Paska Pilgub

Sehari setelah pemilihan, 20 April 2017, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan terhadap Ahok. Saat itu, publik sudah paham bahwa Ahok telah kalah dalam Pilgub sehari sebelumnya. Tuntutan JPU mencengangkan secara hukum, namun cukup realistis dari sisi politik: Ahok bersalah, dituntut hukuman penjara 1 tahun, tetapi dengan masa percobaan 2 tahun. Dengan kata lain, secara politik Ahok menang dalam kasus hukumnya, sebab ia tidak akan dipenjara.

Memang, ada kelompok tertentu dalam Islam yang marah dan tidak menerima tuntutan JPU. Akan tetapi, tensi politik telah turun drastis paska Pilgub. Kelompok-kelompok Islam yang ingin Ahok dipenjara kini ditinggalkan oleh kelompok politik yang ingin Ahok gagal dalam Pilgub.

Kepentingan para elit ini sudah terpenuhi. Sehingga kelompok Islam akan segera ditinggalkan, sampai ada isu politik baru lagi yang akan menyatukan mereka kembali.

Begitulah politik… (*)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *