Ditengah aksi sensor dan kendali terhadap internet, Turki menggelar pemilu lokal pada Minggu, 30 Maret 2014. Hasil tidak resmi menunjukkan Partai Keadilan dan Pembangunan atau Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) pimpinan Perdana Menteri (PM) Recep Tayyip Erdogan memperoleh dukungan sekitar 45%, jauh meninggalkan oposisi utama, Partai Rakyat Republikan atau Cumhuriyet Halk Partisi (CHP), yang diperkirakan memperoleh dukungan antara 26%-28% saja.
Pemilu ini menentukan komposisi parlemen dan pemerintahan lokal. Pemilu presiden dilaksanakan pada bulan September dan pemilu untuk parlemen nasional tahun depan. Akan tetapi, pemilu ini menjadi ajang referendum bagi Erdogan untuk menilai dukungan publik terhadap dirinya.
Dengan kemenangan tersebut, tampaknya Erdogan dan AKP memenangkan drama politik yang berlangsung berbulan-bulan menjelang pemilu. Erdogan, keluarga, lingkaran dalam, dan kabinetnya menjadi bulan-bulanan media karena tuduhan korupsi yang massif.
Telah lama isu korupsi pada pemerintahan Erdogan terendus. Puncaknya adalah pada Desember 2013, ketika beredar rekaman pembicaraan telepon Erdogan dan anaknya, Bilal. Dalam rekaman itu, mereka bicara tentang penyelidikan korupsi terhadap beberapa anggota keluarga. Erdogan memberi instruksi kepada Bilal agar segera “menghilangkan” uang-uang tunai yang ada padanya. Pada rekaman lain, Bilal melaporkan kepada sang ayah ia telah mengamankan sebagian besar uang tunai, akan tetapi belum tahu tindakan apa yang akan dilakukan untuk sedikit sisa uang sekitar EUR 25 juta (sekitar Rp. 390 miliar).
Kontrol Youtube
Rekaman-rekaman tersebut diposting melalui Youtube, akan tetapi segera dihapus.
Youtube memang memiliki sejarah kelam dengan Turki. Negara ini pernah memblokir Youtube pada bulan Mei 2008 selama 30 bulan karena menolak permintaan menghapus konten yang menghina pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Attaturk. Blokir dicabut setelah Youtube memenuhi syarat yang diminta Turki, yaitu: membuka kantor di Turki dan beroperasi dengan nama domain Turki. Dampaknya, Turki dapat leluasa mengontrol konten Youtube, sekaligus menikmati pembayaran pajak usaha dari Youtube.
Reporters Without Borders, sebuah lembaga pemantau kebebasan informasi di dunia, menempatkan Turki pada posisi “under surveillance” sejak tahun 2010.
Selain mengontrol Youtube, otoritas telekomunikasi Turki juga memaksa Facebook membuat “term of service” khusus untuk pengguna Turki, yang antara lain berisi: tidak boleh menyerang Kemal Attaturk, tidak boleh menampilkan bendera Turki yang rusak atau terbakar, dan tidak boleh menampilkan peta Suku Kurdi. Akun-akun yang mendukung Partai Pekerja Kurdistan (Partiya Karkeren Kurdistan atau PKK) akan diblokir oleh Facebook.Itulah sebabnya, Facebook relatif “selamat” dari terjangan kebijakan represif Turki.
Kontrol pemerintah Turki terhadap internet tidak berhenti sampai disitu. Pada 27 April 2011, otoritas telekomunikasi Turki mengumumkan 138 kata “yang dianggap sensitif” sehingga masuk daftar blokir di internet. Akibatnya, puluhan ribu alamat website tidak dapat diakses dari Turki. Misalnya website “sanaldestekunitesi.com” tidak bisa lagi beroperasi, karena terdapat kata “anal” di dalamnya. Padahal, alamat website itu berarti: virtual-support-unit. Kata “pic” yang lazim sebagai singkatan picture (gambar) juga masuk dalam daftar blokir, karena dalam bahasa Turki, kata pic adalah kata-kata makian.
Blokir Twitter
Ketika berkampanye di Kota Busra pada hari Kamis (20/3/2014) lalu, Erdogan mengutarakan kegalauannya terhadap media-media sosial yang menyebarkan informasi palsu untuk menyerang pemerintah. Sang nasionalis ini mengatakan bahwa sekarang adalah era kekuatan informasi dan sosial media. Akan tetapi, Turki jauh lebih kuat dibanding Twitter. Ia mengancam akan “wipe out twitter” (menghapus twitter) dari Turki. Beberapa jam setelah pidato itu, Twitter tidak bisa diakses dari jaringan internet Turki.
Erdogan menuding Twitter berkonspirasi untuk membunuh karakter dirinya. Sejak Januari 2014, pemerintah Turki mengajukan 643 permohonan kepada Twitter untuk menghapus konten-konten yang dianggap merugikan Turki. Akan tetapi, Twitter menolak.
Dari hampir 80 juta penduduk Turki, sekitar 36,5 juta (atau 45,7%) adalah pengguna internet. Di negara ini terdapat 32 juta pengguna Facebook (88% dari pengguna internet, 40% dari jumlah penduduk). Juga terdapat akun Twitter aktif sebanyak 9 juta (atau 25% dari total pengguna internet, 11% dari jumlah penduduk). Twitter adalah website urutan ke-6 paling populer di Turki. Presiden Turki, Abdullah Gul, adalah pemilik akun dengan jumlah follower kedua terbanyak di Turki (4,4 juta) dan Erdogan berada pada peringkat ketiga dengan follower 4,1 juta.
Dampak Internet
Pemblokiran Twitter yang dilakukan hanya 10 hari menjelang pemilu sangat terlambat untuk menghambat informasi menyebar. Akan tetapi, faktor lain yang tampaknya berpengaruh terhadap pemilih dari peristiwa blokir ini adalah kemampuan Erdogan untuk menunjukkan sikap nasionalisme dan kemandiriannya. Terlepas dari benar-tidaknya kasus korupsi yang dituduhkan, Erdogan menunjukkan kepada rakyatnya bahwa Turki adalah bangsa yang tidak akan takluk kepada kekuatan manapun.
Sebagai incumbent, Erdogan dan AKP sangat berpotensi untuk menyalahgunakan proses pemilu dan berlaku curang. Akan tetapi, hingga kini tidak tampak adanya praktik curang yang massif dalam pemilu baru-baru ini. Hal ini menunjukkan bahwa pada sisi-sisi tertentu, sikap nasionalisme seorang pemimpin dapat menutupi tuduhan korupsi terhadap dirinya, apalagi ketika tuduhan itu masih bersifat sumir dan belum terbukti kebenarannya.(*)
Dimuat pada Harian Tribun Timur, edisi Kamis, 3 April 2014. Versi online pada link ini.