Bertanya kepada bawahan itu mengandung potensi korupsi

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menjelaskan asal mula munculnya Ducati Scrambler Nightshift dalam dugaan korupsi yang menjerat Wakil…
1 Min Read 0 39

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menjelaskan asal mula munculnya Ducati Scrambler Nightshift dalam dugaan korupsi yang menjerat Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel ‘Noel’ Ebenezer Gerungan.

Konon, tidak lama setelah dilantik menjadi Wakil Menteri pada Oktober 2024, Noel Ebenezer mengetahui ada bawahan yang “sultan”, tampaknya kaya. Ini terlihat dari hobby bawahan tersebut: koleksi motor dan touring.

Dia adalah Irvian Bobby Mahendro. Jabatannya Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 di Kementerian Tenaga Kerja. Jabatan inilah yang memberi ruang baginya untuk menilap duit pekerja, melakukan mark-up biaya penerbitan sertifikat K3, dari Rp. 270.000,- menjadi antara Rp. 5 juta sampai Rp. 6 juta-an.

Wamen Noel, pada suatu kesempatan ngobrol santai dengan anak buahnya ini. Hal yang wajar. Semua atasan melakukannya, untuk membangun proximity, menciptakan iklim kerja yang lebih menyenangkan. Wamen bertanya kepada Irvian:

“Kira-kira, motor yang bagus untuk saya, apa ya?

Bagi Noel, ini adalah pertanyaan biasa. Ia mungkin ingin berbincang dalam suasana casual, membahas topik yang menjadi ketertarikan bawahan itu. Noel mungkin berharap Irvian akan senang dan berbinar-binar, menjelaskan karakter setiap motor, dan mencocok-cocokkan dengan karakter dirinya.

Tapi bagi anak buahnya, ini mengandung pesan terselubung. Irvian mungkin menyadari, tindak-tanduk salah dan menyimpang yang ia lakukan di kantor selama ini adalah rahasia umum. Bahkan mungkin bukan rahasia lagi. Bahwa ada praktik kutipan dana lebih dalam setiap lembar sertifikat K3 yang terbit.

Konteks itu bisa jadi adalah pendorong Irvian dengan sigap memaknai pertanyaan Wamen Noel itu sebagai permintaan, dan juga semacam sinyalemen: “Saya tahu yang kamu lakukan. Bagi dong. Ducati aja deh”.

Maka, setelah berbincang tentang jenis-jenis motor Ducati, ia sampai pada kesimpulan kalau sang Wamen ingin jenis ini. Dalam waktu singkat, Ducati telah tersedia dan diantarkan kepada Sang Wamen.

Menjadi bawahan membutuhkan daya tahan tertentu dalam berkomunikasi dengan atasan. Seseorang yang berada pada posisi pimpinan seharusnya memahami psikologi bawahan dan konteks kerja organisasi.

Di tempat kerja, ada beberapa orang yang menjadi bawahan saya. Ketika saya mengajukan pertanyaan, atau mengemukakan keluhan, tidak jarang bawahan dengan sigap memaknainya sebagai perintah, atau minimal permintaan. Para bawahan dalam birokrasi kita masih sering bermental “melayani atasan”. Ini kondisi patologis yang masih mewarnai hampir seluruh badan publik kita.

Saya sering bertanya kepada bawahan hal-hal begini: “data tentang ini bisa saya peroleh di unit kerja mana ya?”. Biasanya, bawahan itu akan bergerak sigap, menghubungi unit kerja lain tersebut, dan menghadirkan data yang dimaksud untuk saya.

Bahkan, pernah sekali waktu saya berbincang santai dengan bawahan tentang rokok. Di tempat kami, ada beberapa kantin. Namun, jenis rokok yang saya hisap tidak tersedia di kantin-kantin tersebut. Ketika rokok saya habis, saya berbincang dengan bawahan: “Susahnya mencari rokok xxx di sekitar sini. Saya selalu harus berjalan jauh, kalau rokok saya habis,”.

Tidak sampai sepuluh menit, bawahan yang mendengar itu datang dan membawa dua bungkus rokok. Ia bilang, kebetulan ia tahu dimana rokok itu dijual. Saat akan mengganti uangnya, ia menolak.

Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi mengeluh tentang rokok dihadapan anak buah. Butuh waktu beberapa hari bagi saya untuk mengganti pemberian bawahan itu dengan benda lain yang harganya kira-kira setara.

Wamen Noel mungkin bisa berdalih bahwa ia tidak meminta dibelikan Ducati. Tapi sebagai pimpinan, Noel wajib mengetahui psikologi birokrasi, suasana kebatinan para bawahan, dan iklim kerja pada instansi yang dia pimpin. Seharusnya, ia berhati-hati bahkan saat ngobrol santai dengan bawahan.

Membangun sistem integritas di setiap unit kerja bukan hal mudah. Selain prosedur, aturan, sarana, dan mind set seluruh elemen di dalamnya, yang paling utama adalah komitmen dan karakter pimpinan. Perubahan layanan publik menjadi lebih berintegritas hanya mungkin tercipta jika pimpinan menjadi pemberi perintah, pengarah, pekerja, dan sekaligus contoh.

Pimpinan harus sensitif. Sebab bawahan akan menjadi berintegritas jika dan hanya jika ia memiliki pimpinan yang berintegritas.(*)

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *