Usai Rapat Koordinasi saya kembali ke kampus. Mohon maaf teman-teman Humas PTN se-Indonesia, kali ini saya harus gagal menjadi tuan rumah yang baik. Ada acara workshop pimpinan perguruan tinggi Indonesia dan Prancis di Unhas, dan kami sudah harus mempersiapkan banyak hal.
Indikator bensin motor saya sudah masuk zona merah. Artinya, saya harus mampir di SPBU dan mengisi. Beberapa SPBU kelihatan padat. Akhirnya, saya putuskan singgah di SPBU Jl. Abdullah Daeng Sirua.
Area pengisian premium dan pertalite untuk kendaraan roda dua tampak padat. Ketika ikut antri, saya berada di posisi keenam, sementara ada dua lajur. Itu berarti, saya diurutan ke-12. Di sebelah, saya lihat nosel untuk Pertamax Turbo tampak kosong. Tidak ingin membuang waktu, saya bergeser kesitu.
Meskipun lebih mahal (Rp. 11.500 per liter, berbanding Rp. 6.450 untuk premium), rasanya tidak sabar saya untuk antri di tengah panas terik jam 2 siang. Hujan belum lagi ada tanda-tanda akan turun, meskipun kini telah masuk bulan Oktober.
Saya menyiapkan uang Rp. 50.000,- dan meminta petugas mengisi penuh tangki motor matik saya. Ketika sedang mengisi, datang pengendara lain yang juga akan mengisi Pertamax Turbo. Sekilas saya lihat, ia seorang ibu muda. Gelagatnya, ia saling mengenal dengan petugas yang mengisi bensin motor saya.
“Weh, berapa mi anakmu?” tanya si petugas.
“Iye, ada mi gang, masih kecil…,” jawab wanita itu. Ia buru-buru melanjutkan, “Eh, tidak bawa uang ka ini, habis sekali mi bensinku. Rumahku di Rappocini. Bisa ki pegang dulu HP-ku, sebentar saya datang ambil. Pulang ka dulu ambil uang,” katanya.
Ia lalu menyerahkan HP-nya kepada petugas itu, smartphone entah merk apa.
Teman si petugas, seorang wanita, berkomentar agak keberatan. “Sering itu begitu Bu. Biasa orang titip KTP atau STNK, tapi tidak pernah mi datang ambil. Itu di kantor ada beberapa KTP sama STNK,” katanya.
“Deeeh, pasti ka datang. Kan HP ji saya titip. Jelas ada harganya. Apalagi itu HP yang saya pakai, satu-satunya,” kata si ibu muda dengan suara pelan.
Harga Pertamax Turbo hampir dua kali lipat bensin premium biasa. Saya menduga kuat, ibu ini tidak membeli bensin premium karena malu, antrian disana cukup panjang. Saya bisa membayangkan perasaannya jika harus menitip HP dihadapan banyak mata asing.
Ada berbaai alasan orang tidak membawa uang ketika keluar rumah. Bisa jadi ia memang lupa bawa dompet, bisa jadi ia kehabisan uang. Dan kemungkinan yang agak menyedihkan adalah ia keluar rumah dengan harapan akan memperoleh uang (karena bekerja atau karena ada yang menjanjikan), tetapi harapan itu tidak terpenuhi. Lalu ia terjebak pada situasi kehabisan bensin motor.
Saya mendengar percakapan mereka dengan hati sedih. Apalagi tadi ia mengatakan punya anak kecil.
Ketika tangki bensin motor saya penuh, angka harga di mesin menunjuk Rp. 33.000,-. Kepada petugas yang akan memberi kembalian, saya bilang “isikan mi sisanya untuk ibu dibelakang.”
Si ibu tampak berteriak, “tidak usah pak…! Tidak usah. Ada ji HP bisa saya titip.”
Saya menoleh dan senyum. Tapi ia pasti tidak melihat, sebab wajah saya tertutup masker. Kemudian saya berlalu. Sempat terdengar ia mengucapkan do’a-do’a baik untuk saya dan keluarga.
Bertahun-tahun lalu, saya pernah jalan kaki sejauh 7 kilometer dari kampus ke tempat kost, hanya karena tidak ada uang sebesar Rp. 500,- untuk sewa angkot. Sepanjang jalan, saya berdo’a menemukan uang tercecer, atau berharap ada kendaraan apa saja yang singgah dan memberi saya tumpangan.
Saya tahu rasanya tidak memiliki sepeserpun uang saat sangat membutuhkan.(*)