Selama seminggu mendatang, yaitu tanggal 2 – 9 September 2018, saya akan berada di tengah-tengah The 36th International Symposium on Economic Crime. Ini adalah acara tahunan yang digelar oleh Jesus College, the University of Cambridge.  Melihat sekuensinya, berarti acara ini telah berlangsung selama 36 tahun.  Maka, terbayanglah bagaimana reputasi simposium ini, apalagi diselenggarakan oleh kampus sekelas University of Cambridge.

Saya berangkat dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, tanggal 31 Agustus malam. Persinggahan pertama adalah Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Disini transit sekitar 4 jam, sebelum melanjutkan ke Bandara Heathrow, London.

Sempat ada sedikit masalah, karena otoritas Garuda di Denpasar tidak mengijinkan check-in jika tidak memiliki tiket balik yang valid. Sementara status tiket yang saya pegang untuk penerbangan balik adalah “reserved” belum “issued”.  Akhirnya, saya harus berkomunikasi cukup ribet (soalnya malam hari, travel yang mengurus tiket sudah tutup).

Lumayan lelah mengurus proses check-in. Tetapi, ada pelajaran baru yang saya dapatkan. Untuk memastikan perjalanan internasional lancar, pastikan ada tiket balik jika visa yang digunakan adalah kunjungan singkat.

Untunglah saya memiliki Member Platinum Garuda, sehingga bisa menghabiskan waktu menunggu di Lounge Internasional Flight yang nyaman.  Sebagaimana halnya Lounge penerbangan internasional, godaan paling besar adalah minuman beralkohol yang tersedia gratis dengan pilihan variatif. 😀

Tidak ada hal luar biasa dalam perjalanan yang ditempuh selama 21 jam ini. Kecuali, saat akan mendarat di Bandara Internasional Heathrow London, terasa bahwa pesawat ini cukup lama berputar-putar di atas Kota London. Entah alasan apa, mungkin antrian pesawat saja yang padat. Putar-putar di atas London itu kemudian saya konfirmasi ketika monitor flight map di layar TV pesawat saya aktifkan.

Setelah proses imigrasi selesai (alhamdulillah cukup lancar, berkat dokumen undangan simposium yang sudah saya siapkan), perjalanan ke Camridge juga masih membutuhkan waktu. Saya putuskan menggunakan Bus, dengan biaya cukup ekonomis.  Selain itu, saya juga bisa tiba di tengah Kota Cambridge.

Sebelum bis berangkat, selagi masih ada wi-fi Bandara yang gratis, saya tuntaskan urusan memesan taksi yang akan menjemput di Cambridge.  Saya memesan akomodasi melalui AirBNB, yang berarti akan menginap di rumah penduduk.  Begitu urusan memesan taksi beres, saya pastikan jadwal kedatangan kepada supir taksi, dan saya sampaikan juga bahwa saya tidak akan memiliki jaringan wi-fi dan telepon domestik Inggris. Sehingga, saya akan mencarinya di tempat kedatangan bis.

Tiba di Camridgeshire pukul 01.00 dini hari waktu setempat. Saya sempat celingak-celinguk mencari taksi yang menjemput. Akhirnya ketemu. Sang supir, yang katanya dari Bangladesh, sangat ramah. Ia mengaktifkan GPS untuk membawa ke alamat yang dituju.  Dalam perjalanan ia sempat berkomentar kalau menurut penilaiannya saya nampaknya terbiasa melakukan perjalanan. Ia bilang, dari cara saya memesan taksi, kemudian dari sikap saya yang nampak biasa saja padahal saya tiba jam 1 dini hari di kota yang baru pertama kali di datangi.

Ketika tiba di alamat, pemilik rumah nampaknya sudah tertidur.  Ia memang sempat bilang, jika ia tidur agar saya mengetuk-ngetuk pintu saja.  Namun setelah hampir 15 menit menunggu tidak ada jawaban, akhirnya saya putuskan menelepon ke nomor rumah di depan saya ini, dengan konsekuensi biaya yang pasti tinggi.

Suasana peralihan musim panas ke musim gugur mulai terasa, suhu sangat dingin. Sang pemilik rumah, seorang lelaki setengah baya, akhirnya membuka pintu.(*)

Instagram:

https://www.instagram.com/p/BnOF1WCghzi/?utm_source=ig_web_copy_link

 

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *