Hari-hari ini aksi begal Makassar kembali menjadi sorotan. Isu lama, sebenarnya. Akan tetapi, nampak jelas dalam setidaknya dua tahun terakhir ini, Walikota Makassar tidak menganggap begal sebagai masalah serius.

Masih terbayang kasus satu setengah tahun lalu. Ketika begal begitu marak di Makassar, publik menunjukkan keresahan dengan mempopulerkan hashtag #makassartidakaman. Walikota Makassar, alih-alih bertindak mengatasi begal, malah sibuk mencari pihak yang mempopulerkan hashtag itu. Walikota menuding ada upaya politisasi untuk mendiskreditkan dirinya.

Untunglah Wakil Presiden Jusuf Kalla bertindak cepat. Menjawab keresahan warga melalui sosial media, Pak JK memberi instruksi kepada Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulselbar untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar masalah begas teratasi, dan keamanan dikembalikan.

Setelah lebih setahun, masalah begal belum juga selesai.

Pekan-pekan ini, Gubernur Syahrul Yasin Limpo menunjukkan kegeraman. Konon, pemicunya adalah aksi begal yang merenggut korban jiwa, keponakan salah seorang anggota DPRD Provinsi Sulsel dari Fraksi Partai Golkar. Kegeraman Gubernur ditularkan kepada berbagai pihak, termasuk Pangdam VII/Wirabuana.

Beberapa media online kemudian melansir berita-berita yang menunjukkan kepedulian Panglima. Bahkan, satu media menuliskan bahwa Pangdam instruksikan tembak ditempat bagi pelaku begal. Nampak sekali suasana “frustrasi” aparat keamanan dan aparat pemerintah terhadap aksi-aksi begal ini.

Ini situasi yang jauh lebih berbahaya dari hanya sekedar begal. Secara substansial, upaya mengatasi peristiwa begal adalah “upaya penegakan hukum” (law enforcement). Aparat kepolisian seharusnya berada pada garda terdepan. Pelibatan TNI hanya dan jika hanya diminta oleh Kepolisian. TNI yang mengambil inisiatif untuk bertindak sendiri menegakan hukum sipil dapat terjebak pada tudingan penyalahgunaan wewenang. Belum lagi kemungkinan tudingan pelanggaran HAM.

Kita semua tentu bersimpati kepada korban-korban begal yang berjatuhan. Kehilangan keluarga tidak akan dapat tergantikan. Namun, jangan sampai kesedihan itu menyebabkan kita terjebak pada situasi destruktif, yaitu menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum.

Dalam isu begal, ada banyak pihak yang seharusnya bersinergi. Upaya membangun sinergi ini perlu dilakukan secara konsisten. Inilah yang belum tampak dalam pemberantasan begal di kota Makassar. (*)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *