Beberapa ruas jalan di dalam Kota Makassar sedang dalam pembenahan. Yang maksud “pembenahan” disini adalah: jalan-jalan yang sebenarnya masih bagus itu dilapisi dengan konstruksi beton. Pembenahan jalan ini dilakukan begitu saja, tanpa memikirkan kepentingan warga Makassar. Sungguh praktek pembangunan yang tanpa akal sehat, berdampak pada pengabaian hak asasi warga Kota Makassar.
Saya menggunakan kendaraan melewati jalan raya yang biasa, menyusuri ruas Jalan Abdullah Daeng Sirua dari Tello menuju hendak menuju kawasan Panakukkang. Akan tetapi, tiba-tiba saja kali ini saya terjebak kemacetan luar biasa. Hingga lebih 2 jam terjebak tidak bisa maju dan tidak bisa mundur. Penyebabnya, sedang terjadi penyempitan jalan, karena seperempat jalur jalan sepanjang beberapa puluh meter tidak bisa dilewati, akibat semen pelapis yang belum kering. Di depan sana, terjadi “bottle neck”, penyempitan jalan yang berlanjut dengan kendaraan yang akan bergerak pada arah berlawanan, terkunci saling berhadap-hadapan.
Kita semua tahu, pembenahan jalan ini penting. Jalan akan menjadi lebih mulus dan tahan lama. Tetapi, pemerintah dan kontraktor yang membenahi jalan ini benar-benar tidak punya kepedulian terhadap kepentingan warga. Ada beberapa alasan mengapa saya berpikir demikian:
Pertama, tidak ada peberitahuan sebelumnya bahwa jalan raya ini akan dibenahi. Akibatnya, pengguna jalan bahkan yang setiap hari melewati jalan ini tidak tahu menahu, tiba-tiba saja terjebak kemacetan. Padahal, ada begitu banyak media di Kota Makassar, ada media online, media cetak, radio swasta, televisi swasta, media sosial yang sangat aktif. Sebutkan saja.
Kedua, di ujung jalan sebelum kita memasuki kawasan yang sedang dibenahi tersebut, juga tidak ada pemberitahuan (misalnya papan bicara atau spanduk besar) yang memberitahukan bahwa jalanan di depan sana sedang dalam perbaikan. Bahkan, seharusnya, dengan fakta anggka kendaraan bermotor yang begitu tinggi di kawasan yang sedang dibenahi (dimana pemerintah seharusnya mengetahui hal itu), dapat dipastikan penyempitan jalan yang begitu panjang akan berdampak pada terjadinya kemacetan. Tetapi, pemerintah dan kontraktor jalan ini tidak peduli hal ini. Mereka sepertinya berpikir: “kamu mau terjebak macet, mau terlembat ke meeting, mau lihat istri yang mau melahirkan, saya tidak peduli. Pokoknya, pekerjaan jalan ini saya selesaikan…”
Ketiga, tidak ada sedikitpun langkah antisipatif yang kreatif dan manusiawi, misalnya dengan mengalihkan untuk sementara arus lalu linta, membuat jalur yang sedang diperbaiki menjadi jalur satu arah, atau menerapkan mekanisme buka-tutup pada saat sedang proses pengerjaan. Pokoknya, saya datang, saya bangun jalan, titik! Mau macet, mau apa, saya tidak peduli.
Keempat, tidak ada satupun petugas resmi (baik kepolisian, satpol PP, atau mungkin security dari swasta/kontraktor) yang mengatur dan membantu warga pengguna jalan yang ngos-ngosan di jalan raya. Warga dibiarkan saja mengurus dirinya. Arus lalu lintas justru diatur oleh warga sendiri, dengan inisiatif beberapa anak muda yang kebetulan bermukim di sekitar kawasan yang termacetkan.
Kelima, di sisi jalan-jalan yang sudah rampung dilapisi, terdapat ratusan besi-besi cor yang berujung tajam, dan menjorok ke sisi jalur jalan sebelahnya. Sama sekali tidak ada penanda agar warga hati-hati, atau pengamanan sementara. Wal hasil, saya melihat seorang pengendara sepeda motor tersangkut di besi itu dan mengalami cedera di kakinya. Itu yang saya lihat, saya yakin ada lebih banyak lagi yang cedera karena keadaan ini, terutama pada malam hari.
Keenam, kita tidak tahu, kapan pekerjaan ini akan selesai. Kita hanya melihat saja bahwa ada pekerjaan yang massif, terutama malam hari. Sehingga, setiap hari kita bertanya-tanya, jalur jalan di sini sudah bagus atau belum ya? Setiap hari, pengguna mobil yang mendengarkan radio menggantungkan pengetahuannya terhadap kelancaran jalan di kawasan yang dibenahi ini pada siaran radio swasta yang memperoleh asupan informasi dari warga juga.
Dan situasi “beringas” ini akan semakin panjang jika kita teruskan. Tetapi saya ingin menghentikan disini, sebelum pikiran saya berkembang lebih jauh kepada hal-hal negatif. Sebab, bisa jadi saya sampai pada dugaan, ini proyek asal menghabiskan anggaran saja. Atau ini proyek terlalu banyak setoran dari kontraktor ke pemberi pekerjaan sehingga kontraktor harus hemat agar bisa untung, maka yang dipangkas adalah biaya-biaya “tidak perlu” seperti urusan pengumuman dan marka-marka untuk kepentingan pengguna jalan. Jangan, sebaiknya saya hentikan saja agar saya tidak berpikir kesitu.
Saya tidak tahu, apakah ini proyek pemerintah pusat, pemerintah propinsi, ataukah pemerintah kota. Yang saya tahu, ada ribuan warga Kota Makassar yang hak asasinya tercabut. Jika mereka adalah warga Kota Makassar, maka pahlawan pembela yang pertama dan utama seharusnya adalah pemerintah Kota Makassar. Tetapi dimana pemerintah Kota? Saya menggugat… (*)