Sesaat sebelum duduk di bangku kedua dari belakang, saya melihat sebuah iPhone 6 warna putih kekuningan terbengkalai. Tidak ada lagi orang di sekitar sini.
Bis 201 inipun segera bergerak, meninggalkan halte Imadegawa-Karasuma. Saya berpikir, apa yang harus saya lakukan dengan iPhone ini? Menyerahkan ke sopir, pasti ribet diurusan menjelaskan, masalah bahasa. Saya bisa bilang kalau iPhone ini saya temukan di bangku belakang, tapi setelah itu, kalau ditanya kesana-kemari, wassalam dah…
Membiarkannya saja di bangku bis ini, kalau yang temukan kemudian adalah orang dengan rasa memiliki yang tinggi, bagaimana? Di Kyoto, setiap hari ada ribuan orang asing datang berwisata. Tentu tidak semua memiliki karakter yang sama kan?
Akhirnya saya putuskan untuk menyerahkannya ke Koban (pos polisi) terdekat. Dua halte kemudian, di Halte Demachiyanagi, saya turun, menuju Koban, dan menyerahkannya kepada polisi bertampang seperti anak-anak boyband Jepang.
Sejujurnya, setelah meninggalkan Koban, ada terbersit dipikiran hal-hal “manusiawi” (atau Indonesiawi?). Misalnya, “coba saya ambil saja ya, kan tidak ada yang tahu. Ganti SIM, unlock pakai Gevey, bisalah digunakan di Indonesia”. Atau pikiran begini: “hm, kalau yang punya nanti menerima kembali iPhone-nya, saya akan diberi hadiah apa ya?”. Juga sempat terpikir ini: “Eh, itu polisi yang terima iPhone kan sendirian di pos. Apa bukannya nanti dia yang ambil ya?”.
Pikiran-pikiran seperti itu, saya yakin, ada di kepala kebanyakan orang di Indonesia yang menemukan sesuatu benda berharga tercecer. Apakah pikiran-pikiran seperti itu juga ada di kepala orang Jepang ketika mereka berada pada posisi yang sama?
Ini pertanyaan yang cukup menggelitik sebenarnya. Soalnya, selama empat tahun di Jepang, cerita barang hilang yang kembali sangat sering saya dengar. Teman saya, Abah Hamid, memgawali hari keduanya di Doshisha dengan “melupakan kamera DSLR di bangku taman”. Saat kembali ke bangku itu, sang kamera telah lenyap. Lalu ia menuju pos keamanan dengan maksud melaporkan. Tapi petugas malah menunjukkan sesuatu dan bertanya “apakah ini yang Anda cari? Seseorang tadi menemukan dan membawanya ke sini”.
Teman saya asal Nepal, Tilak Ram, dua hari lalu kehilangan dompet di Osaka. Ia melapor ke polisi, dan esok harinya polisi menghubungi kembali dengan kabar “dompet Anda ada di Koban ini. Seseorang menemukannya”. Setelah diperiksa, isinya lengkap tidak kurang sesuatu apapun.
Orang Jepang sangat terkenal dengan karakter “berusaha mengembalikan barang temuan kepada pemiliknya”. Karena sebagian besar barang temuan itu tidak ketahuan siapa pemiliknya, maka polisi adalah sasaran tempat menampung. Begitu juga, orang-orang yang kehilangan sesuatu (karena tercecer) akan selalu ke polisi untuk melaporkan.
Kebiasaan seperti ini, menariknya, tidak ada diajarkan pada mata pelajaran di sekolah. Akan tetapi menjadi nilai yang terus tumbuh di keluarga dan masyarakat. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh empat nilai penting dalam hidup sehari-hari orang Jepang, yaitu On (hutang budi), Giri (kewajiban), Gimu (berbuat baik), dan Ninjo (kasih sayang).
Keempat nilai ini merupakan satu kesatuan, dan berlaku resiprokal atau timbal-balik. Seseorang berbuat baik (misalnya mengembalikan barang yang hilang) karena percaya bahwa orang lain akan melakukan hal sama.
Orang Jepang sangat menyadari batas mana ia boleh memiliki sesuatu. Batas antara hak dan bukan hak. (*) – at 三十三間堂 (Sanjūsangen-dō)
View on Path