Hari Jum’at, 17 Desember 2010 adalah catatan penting dalam sejarah Tunisia. Setelah waktu sholat Jum’at, seorang pemuda martir Mohamad Bouazizi, membakar diri dihadapan khalayak dan polisi, di kota Sidi Bousaid, yang terletak di Tepi Laut Mediterania yang indah. Setelah menyiram sekujur tubuhnya dengan bensin, ia memantik sebatang korek api, dan…. tubuhnya menyala hangus.
Bouazizi adalah seorang sarjana lulusan universitas setempat. Tetapi, ia tidak dapat bekerja, akibat angka pengangguran yang mencapai 40%. Sementara kepala negara dan pejabat-pejabat publik hidup kaya, ribuan pemuda seperti Bouazizi harus menghadapi sulitnya hidup sehari-hari.
Tanpa kenal malu, Bouazizi yang sarjana memilih untuk berdagang kaki lima, menggunakan gerobak. Tetapi suatu hari, ia dilarang berjualan oleh polisi karena tidak memiliki ijin berjualan. Dengan pemerintahan yang korup di seluruh level, ijin berjualan hanya bisa diperoleh dengan menyuap pejabat daerah. Bouazizi tidak punya cukup uang untuk itu. Maka, gerobaknya disita polisi.
Perilaku ini lumrah ditemui selama rejim Presiden Zine Al-Abidine Ben Ali yang telah berkuasa 23 tahun. Perilaku korup pejabat publik telah mencederai rasa keadilan. Tetapi, rakyat yang tidak berdaya memilih pasrah, dengan kemarahan yang tersimpan rapi. Mereka, rakyat tertindas seperti ini, tersebar di seluruh negeri Tunisia berpenduduk 11 juta jiwa.
Tetapi bagi Bouazizi, gerobaknya adalah satu-satunya alasan yang menyebabkan ia masih dapat hidup dengan kehormatan sebagai manusia. Tanpa gerobak itu, ia merasa tidak lagi layak menjadi manusia terhormat. Maka, hari itu, Jum’at, 17 Desember 2010, ia memutuskan untuk menyatakan protes dengan ekstrim: membakar diri.
Bouazizi ingin dunia melihat, bahwa ada ketidakadilan disini. Ia ingin membangunkan jutaan orang Tunisia yang selama ini hanya diam, atau mungkin tidak punya cukup alasan untuk melawan.
Rakyat Tunisia, setidaknya 40% penganggur itu, tersengat dan terbakar oleh api yang menyala di tubuh Bouazizi. Gerakan masyarakat tiba-tiba bangkit di seluruh negeri. Jutaan orang turun ke jalan-jalan di kota-kota utama Tunisia, di ibukota Tunis, Sfark, Cartagho, Qairawan. Mereka berteriak menuntut agar Presiden Ben Ali, yang telah 23 tahun menghisap darah rakyat Tunisia dan menimbun jutaan dollar kekayaan pribadi.
Negara lumpuh total. Tiba-tiba saja, ketidakadilan menjadi bahasa bersama yang disuarakan bukan saja oleh para pengangguran, melainkan juga para intelektual, kalangan swasta, dan para profesional. Polisi dan tentara yang coba memaksakan ketertiban, justru terlibat bentrokan berdarah dengan masyarakat sipil.
Tanggal 15 Januari 2011, Tunia benar-benar tidak dapat dikendalikan. Presiden Ben Ali, dengan sangat pengecut, melarikan diri ke luar Tunisia, membawa keluarganya, dan harta yang berlimpah. Konon, istrinya memiliki simpanan 1.5 ton emas murni yang tersimpan di luar negeri. Ben Ali menuju Paris. Tetapi, pemerintah Prancis menolaknya. Ia kemudian terdampar di Arab Saudi sebagai pelarian politik.
Dan udara baru kemudian berhembus di Tunisia. Udara kebebasan yang dipenuhi optimisme dan harapan bagi keadilan. Udara yang dihasilkan dari asap hitam yang membakar Mohamad Bouazizi, pemuda martir yang menggerakkan revolusi, hanya dengan sebatang korek api.***