Dalam politik Indonesia, nama Roy Suryo bukan hal asing. Ia dikenal sebagai sosok yang sering tampil di media dengan komentar kritis. Belakangan, Roy Suryo konsisten menggempur isu pendidikan Presiden Joko Widodo—yang ia anggap ijazahnya bermasalah—serta meragukan latar belakang pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming. Isu ini jelas sensitif, menyentuh kredibilitas dua tokoh paling berkuasa di negeri ini.
Secara substansi, kritik yang dilontarkan Roy memang menarik. Bagaimanapun, isu ijazah dan latar pendidikan pejabat publik adalah hal yang wajar untuk dipertanyakan. Di banyak negara demokrasi, transparansi riwayat pendidikan pemimpin merupakan bagian dari akuntabilitas publik. Jadi, di level ide, apa yang diperjuangkan Roy bisa dibilang sah dan relevan.
Namun masalahnya ada di gaya komunikasi.
Dari Kritikus ke “Nyinyir Man”
Beberapa waktu terakhir, cara Roy Suryo menyampaikan kritik berubah drastis. Di berbagai podcast, talkshow, maupun video singkat yang viral di media sosial, ia tidak lagi tampil sebagai pengkritik akademis yang elegan. Justru sebaliknya, gaya bicaranya cenderung nyinyir, merendahkan, bahkan terdengar kampungan.
Alih-alih menambah bobot argumen, ia sering menertawakan lawan diskusi dengan nada mengejek.
Di titik ini, publik mulai bertanya-tanya: apakah kritiknya masih fokus pada substansi, atau hanya sekadar “unjuk gigi” dengan olok-olok?
Efek Gaya Komunikasi dalam Opini Publik
Ilmu komunikasi politik mengajarkan bahwa substansi pesan memang penting, tapi gaya penyampaian jauh lebih menentukan bagaimana pesan itu diterima. Dalam teori retorika Aristoteles, ada tiga pilar utama: logos (logika), ethos (kredibilitas), dan pathos (emosi). Jika Roy punya logos yang cukup (argumen soal ijazah dan pendidikan), maka masalah utamanya kini ada pada ethos dan pathos.
- Ethos: Kredibilitasnya luntur karena gaya merendahkan orang lain.
- Pathos: Alih-alih membangun empati, ia justru memancing rasa jengkel.
Hasilnya? Pesan yang sebenarnya serius menjadi tidak efektif. Publik yang tadinya mungkin simpati, bisa berbalik cuek bahkan antipati.
Risiko Menjadi Karikatur Diri Sendiri
Jika dibiarkan, Roy Suryo berpotensi terperangkap dalam “jebakan selebritas politik”: lebih dikenal karena gaya kocak yang menjengkelkan daripada isi kritiknya. Publik tidak lagi melihatnya sebagai pengkritik serius, melainkan sebagai figur yang “ramai di media karena ribut.” Dalam jangka panjang, ini bisa mematikan efektivitas perjuangan politiknya sendiri.
Karikatur diri sendiri adalah sebuah bentuk ekspresi artistik di mana seseorang menggambar atau membuat representasi diri sendiri dengan cara yang berlebihan, distorsi, atau humoris. Apakah Roy sengaja memilih langkah ini? Ingin mengungkapkan diri dengan cara berbeda agar menarik perhatian?
Jika, saya anggap ini kebablasan atau ketidakpercayaan diri berlebihan. Roy adalah tokoh, mantan Menteri dan memang telah menjadi sosok kontroversial selama ini. Tanpa harus nyinyir, Roy selama ini telah menyedot perhatian.
Pelajaran Penting
Fenomena Roy Suryo ini memberi kita pelajaran bahwa dalam komunikasi publik, cara bicara bisa lebih penting daripada isi bicara. Kritik boleh keras, tapi jika dibalut dengan gaya yang elegan, hasilnya akan jauh lebih kuat. Sebaliknya, kritik yang dilontarkan dengan nyinyir dan olok-olok justru kehilangan daya pukul.
Akhirnya, publik bisa saja setuju dengan isu yang dibawa Roy, tapi tidak suka dengan cara Roy menyampaikannya. Dan dalam politik modern, ketika simpati publik adalah modal utama, gaya komunikasi bisa menentukan apakah seseorang dipandang sebagai pejuang serius atau sekadar penghibur di panggung politik.(*)