Dalam proses penelusuran data dan informasi untuk keperluan riset yang sedang saya lakukan (tentang kerjasama internasional untuk pemberantasan korupsi), tetiba muncul hal ini…
—-
Setelah menganeksasi Kuwait, Irak dijatuhi embargo ekonomi oleh PBB pada tahun 1990. Tidak sampai 5 tahun, rakyat Irak dibawah rejim Saddam Husein alami masalah kelangkaan pangan dan obat-obatan. Negara ini memiliki minyak berlimpah, tetapi tidak ada yang boleh membelinya karena embargo. Akibatnya, Iraq tidak punya uang untuk memperoleh makanan dan obat-obatan.
PBB meluncurkan program yang disebut Oil for Food. Idenya adalah membantu rakyat Iraq yang kelaparan. PBB mengijinkan Iraq untuk menjual minyaknya, namun hasil penjualan itu hanya boleh digunakan membeli makanan dan obat-obatan saja.
Mekanismenya, Saddam menunjuk pihak yang akan membeli minyak Irak dengan sistem voucher. Kemudian Saddam menunjuk pihak yang menjadi pemasok bahan makanan dan obat-obatan untuk rakyat Irak, yang dibayar dengan duit hasil penjualan minyak.
Maka, berbagai entitas (mulai negara, perusahaan, hingga individu) berlomba-lomba mengambil bagian dalam program ini. Berhubung Saddam adalah penentu, maka entitas ini berusaha merebut hati Saddam.
Dalam kaitannya dengan penyedia makanan dan obat-obatan, Saddam juga menentukan pihak mana saja yang jadi pemasok. Lagi-lagi, berlomba-lombalah berbagai entitas merebut hati Saddam, agar bisa menjadi pemasok. Mereka bisa menjual barang dengan harga yang ditentukan sendiri (toh uangnya ada dari hasil penjualan minyak jurltaan barrel).
Penyelidikan kemudian hari menyebutkan, sebanyak hampir 3.000 entitas (perusahaan, negara, dan individu) yang terlibat program ini, sekitar 2.000 diantaranya menyuap dan memberi gratifikasi kepada Saddam Husain.
Selama periode 1995 hingga 2003, Saddam Husain menerima sekitar US$ 10,1 milyar dalam bentuk kick-back, suap langsung, maupun penyelundupan yang semuanya adalah bagian dari Oil for Food Program.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Paul Volcker (mantan Kepala Bank Sentral AS) menyampaikan laporan mencengangkan terkait nilai korupsi, perusahaan yang terlibat, jenis perusahaan, hingga individu-individu yang tersangkut. Media-media besar dunia menyebut kasus ini sebagai “The Biggest Corruption Scandal in History”.
Sayangnya, daftar 2.000 pihak yang terlibat tersebut belum diungkap sepenuhnya. Akan tetapi, pada tahun 2004, Surat Kabar Irak Al-Mada menerbitkan laporan yang memuat nama-nama 270 entitas penerima voucher minyak dari Saddam Hussain. Daftar yang mengguncangkan. Para penerima ini berasal dari 50 negara: 16 negara Arab, 17 Eropa, 9 Asia, sisanya dari Afrika dan Amerika Latin.
Selain perusahaan, daftar itu juga mencantumkan nama kepala negara, partai politik, yayasan amal, hingga individu-individu.
Mantan wakil menteri Perminyakan Iraq, Abd Al-Saheb Salman Qutb mengatakan bahwa daftar itu bersumber dari Organisasi Pemasaran Minyak Irak, merupakan data yang sebenarnya dikumpulkan untuk Interpol. Entah kenapa data itu bocor ke media.
Sebagian besar nama-nama yang tercantum dalam daftar 270 itu memilih diam. Hal ini menimbulkan spekulasi kebenaran daftar tersebut. Biasanya, jika berita tidak benar, orang-orang yang diberitakan akan membantah. Diamnya nama-nama di daftar itu seakan membenarkan.
Di berbagai negara, penyelidikan dan tuntutan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat berlangsung. Di Prancis, misalnya, Total Oil Company dan belasan pejabat pemerintah dinyatakan bersalah pada 2013. Di Jerman, AG Siemens juga dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Sayangnya, PBB (terutama Sekjen Koffi Annan) yang meluncurkan Oil for Food Program tidak menunjukkan tanggung jawab berarti. Nama-nama yang terlibat korupsi tidak semua menanggung konsekuensi hukum yang semestinya.
Dalam daftar Al Mada yang berisi 270 penerima voucher, terdapat 2 penerima di Indonesia. Tetapi kedua penerima itu sebenarnya 1 orang. Dia adalah the daughter of President Soekarno, Megawati.(*)
Screen shoot ini hanyalah satu dari ribuan entry di internet yang menyebutkan daftar 270 penerima voucher minyak versi Al Mada. Laporan-laporan lain mengkonfirmasi informasi ini.
Tetapi hingga kini, otoritas hukum di Indonesia, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menyentuh kasus Oil for Food Program.