Kaisar Jepang, Akihito, akan mengundurkan diri. Rencana ini telah terdengar sejak tahun lalu, meskipun tidak dapat terkonfirmasi. Pada Juni 2016, sempat terdengar kabar dari dalam Istana kekaisaran tentang desas-desus rencana ini. Namun pejabat resmi Istana Kekaisaran Jepang enggan untuk mengkonfirmasinya.
Banyak kalangan yang gamang. Pengunduran diri seorang kaisar yang masih hidup di Jepang terakhir terjadi sekitar 200 tahun lalu. Ketika itu, Kaisar Kokaku mengundurkan diri pada tahun 1817. Sehingga, ketika kabar ini merebak, banyak kalangan menganggapnya sebagai hal luar biasa. Karena sangat tidak lazim, sebagian lagi menganggapnya sebagai isu.
Namun demikian, berita itu sempat dilansir oleh NHK, badan penyiaran Jepang yang memiliki kredibilitas tinggi.
Isu menjadi kenyataan, ketika pada Mei 2017 lalu, Pemerintah Jepang mengajukan rancangan undang-undang tentang pengunduran diri Kaisar Akihito. Juga rencana mengalihkan kekuasaan kekaisaran kepada anak pertamanya, Pangeran Naruhito. Pada bulan Juni 2017, rancangan undang-undang itu diloloskan oleh parlemen Jepang (Diet). Pemerintah Jepang diperintahkan untuk mempersiapkan proses transisi kekuasaan kaisar.
Pengunduran diri ini menjadi semakin jelas, ketika pada Jum’at, 1 Desember 2017, Dewan Rumah Tangga Kekaisaran mengadakan rapat untuk mulai mempersiapkan seremoni dan prosesi pengunduran diri Kaisar Akihito. Sekaligus juga pengangkatan Pangeran Naruhito menjadi Kaisar yang baru. Proses ini perlu dipersiapkan sejak dini, mengingat ini bukanlah peristiwa lazim. Peristiwa yang sebelumnya terjadi pada 200 tahun lalu adalah sangat langka.
Akihito, Kaisar Rendah Hati
Dalam tradisi Jepang, kaisar adalah sentra kekuasaan negara dan simbol pemersatu masyarakat. Kaisar dijuluki “Tenno” yang berarti “memiliki kedaulatan atas surga”. Sepanjang sejarah Jepang, fungsi kaisar melalui dinamika. Sejak tahun 1947 (yaitu sejak Jepang mengadopsi konstitusi baru yang dirancang oleh Komando Pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat), Kaisar Jepang dinyatakan sebagai “simbol kepala negara”, yang tidak lagi memiliki kekuasaan eksekutif.
Akihito mewarisi kekuasaan kaisar dari ayahnya, Hirohito, yang melewati masa-masa tersulit Jepang modern. Hirohito adalah kaisar yang secara langsung mengumumkan melalui radio penyerahan diri Jepang sebagai pertanda kekalahan dalam Perang Dunia II. Komandu Pasukan Sekutu di Asia Pasifik dibawah pimpinan Jenderal Mac Arthur yang kemudian datang dan mengubah banyak hal di dalam negeri Jepang (termasuk menulis konstitusi baru), menyadari pentingnya posisi Kaisar dalam masyarakat Jepang. Sehingga, lembaga ini tidak disentuh secara signifikan.
Hirohito terus menjalankan kekuasaan kaisar hingga akhir hayatnya pada 1989. Akihito yang menggantikannya mendapatkan gelaran Heishei, yang berarti “kedamaian dimana-mana”. Dalam tradisi Jepang, sebutan era kekaisaran ini akan diberikan kepada kaisar setelah wafatnya. Gelar ini berkaitan dengan upaya yang ia lakukan dalam meneruskan upaya ayahnya untuk mengembalikan kejayaan Jepang setelah kalah perang, dan kembali ke tatanan masyarakat internasional yang penuh perdamaian.
Akihito dikenal sebagai kaisar dengan karakter dan gaya kepemimpinan yang berbeda dengan ayahnya, bahkan kaisar-kaisar sebelumnya. Ia memiliki karakter rendah hati (down to earth), mendobrak beberapa kebiasaan yang diwariskan turun-temurun dalam tradisi kekaisaran Jepang.
Pada bulan April 1959, Akihito memutuskan untuk menikah dengan Michiko Shoda. Perkawinan ini mendobrak tradisi kekaisaran yang telah dipertahankan selama 2.600 tahun, dimana Michiko adalah rakyat biasa yang bukan berasal dari keturunan bangsawan.
Pada bulan Juni 2016, Akihito menyampaikan pidato televisi yang sangat langka. Dalam catatan, sejak tahun 1945, hanya ada 3 kali pidato kaisar didepan umum, dua lainnya adalah pidato Kaisar Hirohito yang menyatakan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, serta Pidato Akihito pada 2011 ketika terjadi bencana tsunami di Fukushima.
Pidato Akihito pada 2016 juga merupakan hal tidak lazim, dimana dia secara terbuka mengutarakan kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan dirinya sehingga dapat mengganggu tugas-tugasnya memimpin negara. Adalah tidak lazim seorang Kaisar mengungkapkan persoalan kesehatan dirinya kepada publik. Ayahnya, Hirohito, diketahui mengidap penyakit yang diumumkan terbuka hanya setelah wafatnya.
Akihito juga secara berulangkali menyatakan penyesalannya atas apa yang telah dilakukan Jepang selama Perang Dunia II. Ia mencatatnya sebagai peristiwa kelam yang tidak perlu terjadi lagi, dan ia mendorong agar Jepang menjadi bangsa yang menghilangkan sikap agresif dalam hubungan internasional. Kaisar Akihito mengunjungi China pada tahun 1992 (suatu kunjungan pertama kali dari kalangan monarki Jepang, dan banyak memicu kontroversi di dalam negeri). Meskipun Kaisar tidak meminta maaf, namun ia secara terang menyatakan kesedihannya atas perang yang terjadi pada masa lalu antara kedua negara.
Dampak Pengunduran Diri
Apa yang akan terjadi jika Akihito mengundurkan diri?
Secara fundamental, dari sisi politik tidak akan banyak perubahan. Jepang memang dikenal sebagai negara monarki, yang berarti memiliki basis kekuasaan raja atau kaisar yang diwariskan turun-temurun. Akan tetapi kekuasaan kaisar telah dibatasi sampai pada titik paling rendah, sehingga hanya menjadi simbol pemersatu bangsa saja.
Meskipun demikian, makna kekuasaan simbolik kaisar bukanlah sesuatu yang tidak bermakna. Justru bagi banyak orang Jepang, posisi kaisar yang demikian itu merupakan kekuatan tersendiri. Kaisar akan menjadi tempat terakhir untuk mengambil keputusan ketika terjadi kegagalan mencapai konsensus.
Keputusan kaisar untuk mengundurkan diri sebelum waktunya dapat diinterpretasikan banyak hal. Dan juga mendatangkan banyak spekulasi.
Pada satu sisi, hal ini menunjukkan sikap kaisar yang menyadari perkembangan jaman, modernisasi yang semakin maju, dan penerimaan publik terhadap institusi kekaisaran yang makin turun. Namun di sisi lain, hal ini dapat juga diartikan sebagai respon terhadap kondisi aktual diri kaisar yang memang secara fisik mulai menurun secara alamiah.
Dibalik itu, sebagian kalangan juga meramalkan bahwa hal ini berkaitan dengan isu perbedaan pendapat dikalangan istana kekaisaran sendiri berkaitan masa depan penerus kaisar.
Sebagaimana diketahui, pewaris tahta kekaisaran Jepang setelah Kaisar Akihito adalah putranya, Pangeran Naruhito. Tidak ada debat, putra pertama Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko ini akan melanjutkan tahta.
Pangeran Naruhito hanya mempunyai seorang anak, seorang perempuan bernama Putri Aiko. Ini menimbulkan debat, apakah Putri Aiko (yang lahir pada 2001) akan mewarisi tahta kelak?
Undang-undang Kekaisaran Jepang 1947 menganut sistem Agnatic Primogeniture, dimana tahta diturunkan kepada garis darah laki-laki. Bukan Absolute Primogeniture (yaitu keturunan pertama, terlepas jenis kelaminnya).
Nampaknya, Kaisar Akihito menyadari kontroversi ini, dan ingin memberi ruang dialog sejak awal. Ia tahu, bahwa ketika tahta diturunkan kepada anaknya, Pangeran Naruhito, saat itu juga akan ada pengukuhan mengenai siapa yang akan menjadi pewaris selanjutnya.
Selain hal-hal itu, dampak sosial dan politik dari pengunduran diri sebagai kaisar tentu tidak banyak. Namun demikian, rakyat Jepang akan selalu mengenang Kaisar Akihito, sang Putra Matahari, sebagai sosok yang membawa pembaharuan Jepang modern dengan kerendahan hatinya yang mengagumkan.(*)