Namanya Fabio Borsatti, seorang pria berusia 50 tahun. Ia adalah pengusaha hotel di kota kecil Cimolais, propinsi Pordenone, Italia. Pada suatu sore di bulan Mei 2012, ia berada dirumahnya sedang menonton pertandingan sepak bola di televisi ketika teleponnya berdering-dering: orang-orang mengucapkan selamat kepadanya karena terpilih sebagai Walikota Cimolais yang baru.
Pagi hingga siang itu memang berlangsung pemilihan Walikota. Borsatti adalah salah satu dari dua kandidat. Ia menjadi kandidat karena ingin membantu temannya, kandidat lain yang juga Walikota incumbent, Gino Bertolo. Syarat pemilihan Walikota adalah harus ada dua kandidat.
Hingga saat terakhir menjelang penutupan pendaftaran kandidat, tidak ada yang ingin menandingi Bertolo, sang incumbent. Maka, Borsatti berbaik hati menjadikan dirinya kandidat, demi memuluskan proses pemilihan. Borsatti sangat yakin Bertolo akan terpilih kembali. Bahkan, ibu Borsatti, saudara-saudaranya, dan sepupu-sepupunya semua mendukung dan memilih Bertolo.
Selama kampanye, Borsatti tidak mencetak selembarpun poster. Ia hanya hadir pada debat publik yang menjadi kewajiban setiap kandidat. Karena Cimolais adalah kota wisata di kaki pegunungan, dan dirinya adalah pengusaha hotel, maka dengan sederhana ia mengatakan bahwa visinya adalah memajukan pariwisata.
Rupanya, sikap sederhana Borsatti, dan visinya yang sangat realistis untuk konteks kota Cimolais, menarik minat banyak warga. Ketika pemungutan suara selesai, Borsatti memperoleh 58% suara, angka yang lebih dari cukup untuk mengantarnya menjadi Walikota. Maka, jadilah Fabio Borsatti menjabat Walikota Cimolais karena kebetulan.
Tentu saja, kisah Walikota Borsatti di kota Cimolais berpenduduk 507 jiwa ini tidak bisa disamakan dengan karakteristik kota Makassar yang berpenduduk 1,3 juta jiwa yang begitu heterogen, beragam kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Makassar memiliki konteks yang sangat berbeda dengan Cimolais. Tetapi kita bisa menarik pelajaran tentang sikap pemilih dan warga dari kisah ini.
Para kandidat seringkali lupa, bahwa warga kota sesungguhnya merupakan penilai yang jujur dan kadang-kadang di luar dugaan. Setiap hari warga kota hidup dengan kenyataan-kenyataan, pada saat dimana para politisi dan elit-elit calon pemimpin berada dalam mimpi-mimpi besar. Warga menentukan pilihan dengan cara yang seringkali tidak dapat diperkirakan.(*)