Akses Internet Anak: Melindungi, bukan Mengasingkan

Akses Internet Anak: Melindungi, bukan Mengasingkan

Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan penyedia konten digital membatasi akses kepada anak, bahkan melarang anak di bawah usia tertentu untuk memiliki akun media sosial. Alasannya, melindungi anak dari dampak negatif dunia digital: kecanduan, perundungan siber, disinformasi, dan eksploitasi daring. Sekilas, niat ini tampak mulia.

Sebagian kalangan menganggap aturan itu belum cukup. Dengan banyaknya kasus-kasus sosial dan kriminal yang disebabkan oleh pengaruh internet dan sosial media, muncul wacana pembatasan akses oleh anak. Anak-anak harus dilindungi secara lebih agresif, bahkan jika perlu diterapkan larangan memiliki akun media sosial, atau mengakses internet dengan konten yang tidak sesuai.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, pendekatan semacam ini justru keliru sasaran dan berpotensi merugikan generasi muda Indonesia yang tumbuh di era yang telah terinternetisasi.

Digital Native

Generasi anak-anak masa kini lahir di lingkungan internet. Mereka adalah digital native, penduduk asli dunia digital. Sejak usia dini, mereka berinteraksi dengan gawai, menonton video edukatif, belajar melalui platform daring, hingga bermain gim interaktif. Internet bukan sekadar alat hiburan bagi mereka, melainkan ruang sosial dan budaya tempat mereka bertumbuh.

Dengan kata lain, mereka tidak sedang “mengakses dunia digital”, mereka hidup di dalamnya.

Maka, kebijakan yang bertujuan “melindungi anak dengan cara menjauhkan mereka dari media sosial” sama artinya dengan memisahkan mereka dari realitas kehidupannya sendiri. Ini ibarat melarang anak bermain di taman karena di luar ada polusi. Padahal solusi sebenarnya adalah membersihkan udaranya, bukan mengurung anak di dalam rumah.

Yang perlu diatur bukan anak-anak, melainkan lingkungannya. Pemerintah dan otoritas digital semestinya menaruh fokus pada regulasi penyedia platform dan produsen konten. Mereka memiliki sumber daya, algoritma, dan kekuatan ekonomi yang menentukan apa yang tampil di beranda anak-anak. Alih-alih membatasi akses anak, negara seharusnya memastikan bahwa ruang digital yang mereka masuki aman, edukatif, dan inklusif.

Mengatur Penyedia

Platform media sosial besar seperti TikTok, YouTube, dan Instagram memiliki sistem rekomendasi yang dirancang untuk memaksimalkan durasi penggunaan, bukan kualitas interaksi. Algoritma ini bekerja dengan prinsip bisnis, semakin lama seseorang menatap layar, semakin besar peluang iklan ditonton.

Anak-anak, dengan rasa ingin tahu tinggi dan kontrol diri yang belum matang, menjadi target empuk sistem semacam ini. Maka, tanggung jawab terbesar ada pada perusahaan digital untuk membangun algoritmic responsibility, tanggung jawab moral dan sosial dalam setiap kode yang mereka tulis.

Sayangnya, negara sering kali memilih jalan pintas: membatasi anak-anak, bukan membatasi kekuasaan korporasi digital. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih mudah mengatur warganya sendiri daripada menegosiasikan tanggung jawab dengan raksasa teknologi global.

Padahal, di banyak negara maju, regulasi digital diarahkan pada transparansi algoritma, klasifikasi konten berbasis usia yang lebih canggih, serta peningkatan literasi digital keluarga. Di Finlandia dan Korea Selatan, misalnya, pendidikan literasi digital menjadi bagian dari kurikulum nasional sejak sekolah dasar. Anak-anak tidak dijauhkan dari internet, tetapi diajarkan bagaimana bersikap kritis, etis, dan aman di dalamnya.

Calon Produsen

Kita perlu memahami bahwa anak-anak hari ini bukan sekadar konsumen konten, mereka calon produsen konten. Dalam waktu singkat, mereka akan menjadi kreator, pengembang aplikasi, penulis, dan desainer digital.

Membatasi akses mereka pada masa kini berarti menutup peluang eksplorasi dan kreativitas yang bisa menjadi modal penting masa depan. Dunia ekonomi digital justru membutuhkan generasi muda yang memahami dinamika media sosial sejak dini, bukan yang gagap karena terlalu lama dilindungi.

Kritik terhadap pembatasan akses ini bukan berarti menolak perlindungan anak. Justru sebaliknya — perlindungan harus berbasis pada pemberdayaan, bukan pembatasan. Perlindungan yang efektif bukan yang menutup mata anak dari risiko, tetapi yang membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan menghadapi risiko itu secara mandiri.

Literasi Digital

Dalam konteks ini, peran keluarga dan sekolah menjadi sangat penting. Literasi digital tidak boleh berhenti pada sekadar “ajakan berhati-hati di internet”, melainkan harus berkembang menjadi pendidikan kritis: bagaimana mengenali manipulasi algoritma, membaca tanda-tanda disinformasi, hingga memahami etika digital.

Masa depan dunia digital adalah milik mereka — anak-anak hari ini. Mereka tumbuh di tengah jaringan, algoritma, dan big data yang membentuk cara berpikir dan berinteraksi. Menjauhkan mereka dari dunia itu bukanlah bentuk perlindungan, melainkan pengasingan.

Daripada melarang anak-anak mengakses media sosial, lebih bijak jika pemerintah berani mengatur perusahaan digital agar bertanggung jawab atas lingkungan yang mereka ciptakan. Dunia digital adalah ruang hidup generasi baru; tugas kita bukan menutup pintunya, tetapi memastikan bahwa ketika mereka melangkah masuk, ruang itu aman, bersih, dan adil.(*)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *