Proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang melayani rute Jakarta–Bandung digadang-gadang sebagai tonggak sejarah modernisasi transportasi Indonesia. Sementara bagi Beijing, kereta cepat yang populer disebut Whoosh ini lebih dari sekadar kerja sama bisnis. Ini adalah etalase kebanggaan Belt and Road Initiative (BRI) di Asia Tenggara.
China ingin menunjukkan bahwa teknologi dan skema pembiayaan yang mereka tawarkan dapat menjadi alternatif bagi model pembangunan Barat dan Jepang, khususnya di Asia Tenggara.
Proyek ini kini menghadapi masalah serius: biaya membengkak, pendapatan tak sesuai harapan, dan beban utang menggunung. Indonesia melalui konsorsium PT KCIC meminjam dana dari China Development Bank (CDB) dalam jumlah besar. Ada kewajiban untuk membayar bunga dan cicilan yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. PT KCIC tidak punya cukup uang, sebab bisnis ini merugi. Harapannya, pemerintah turun tangan.
Akan tetapi Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewo, tegas tidak akan menggunakan APBN untuk membayar utang tersebut. Urusan bisnis selesaikan secara bisnis, begitu argumen Menteri Purbaya.
Dalam situasi ini, muncul kekhawatiran: apa jadinya jika utang ini gagal dibayar? Apakah Indonesia akan menjadi korban berikut dari jebakan utang China (China’s debt trap)
Saya ingin mengajak publik untuk melihat fenomena ini dari perspektif diplomasi dan geopolitik global.
Wajah BRI di Asia Tenggara
Bagi Beijing, KCIC bukan proyek biasa. Ini adalah proyek percontohan BRI di Asia Tenggara, wilayah yang diperebutkan oleh banyak kekuatan dunia. Keberhasilan KCIC menjadi alat propaganda diplomatik China: bukti bahwa kerja sama dengan China membawa kemajuan. Maka, China akan mengambil segala langkah, politik maupun ekonomi, untuk memastikan proyek ini sukses.
Jika proyek sebesar ini justru gagal bayar, dampaknya akan langsung menghantam reputasi global China. Dunia akan melihat kegagalan Whoosh sebagai tanda bahwa model pembiayaan BRI rapuh, tidak efisien, dan berisiko tinggi. Negara-negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand akan berpikir ulang untuk menerima pendanaan BRI dalam proyek-proyek strategis mereka.
Dengan kata lain, gagal bayar KCIC bukan sekadar kerugian finansial bagi China. Ada ancaman bencana reputasi geopolitik.
Reputasi Beijing dan Posisi Tawar Indonesia
China kini terjebak dalam dilema yang sulit. Jika menekan Indonesia untuk membayar, Beijing akan dicap sebagai pemberi utang predator, menguatkan narasi “debt trap diplomacy” yang selama ini dikritik Barat. Namun jika China melonggarkan syarat, memperpanjang tenor, atau menghapus sebagian utang, negara ini harus menanggung kerugian finansial miliaran dolar.
Dalam konteks diplomasi dan geopolitik, citra lebih penting daripada uang. Mempertahankan reputasi BRI sebagai inisiatif pembangunan yang bersahabat jauh lebih bernilai dibanding memaksa mitra membayar dengan risiko kehilangan kepercayaan kawasan. Karena itu, restrukturisasi dan negosiasi lunak hampir pasti menjadi pilihan realistis.
Banyak yang mengira Indonesia dalam posisi lemah. Namun jika ditelaah, justru sebaliknya. Indonesia adalah negara kunci di Asia Tenggara, ekonomi terbesar di kawasan, dan mitra penting dalam stabilitas Indo-Pasifik. China membutuhkan Indonesia untuk membuktikan bahwa BRI sukses.
Indonesia justru memiliki nilai tawar (leverage) diplomatik yang kuat. Pemerintah dapat menegosiasikan ulang skema utang. Beberapa opsi dapat ditempuh, seperti: perpanjang tenor, turunkan bunga, atau bahkan mengonversi sebagian utang menjadi kepemilikan saham atau investasi langsung. Dengan posisi tawar ini, Indonesia bisa mendorong pembiayaan yang lebih adil dan transparan.
Mitos Jebakan Utang
Istilah jebakan utang atau debt trap sering digunakan untuk menuduh China menjebak negara-negara berkembang melalui utang besar. Walaupun secara konseptual, jebakan ini tidak sepenuhnya benar. Beberapa studi menunjukkan bahwa China tidak memiliki intensi untuk menjebak melalui utang.
Dalam kasus KCIC, indikasi jebakan itu bisa berbalik arah. China yang semula ingin menjadikan proyek ini sebagai simbol keberhasilan justru berisiko menanggung malu jika proyek tersebut gagal bayar.
Indonesia tentu tidak boleh abai terhadap tanggung jawab finansial. Tetapi pemerintah juga tidak perlu panik menghadapi tekanan geopolitik. Justru inilah saatnya menunjukkan bahwa kerja sama internasional harus berbasis kesetaraan, bukan ketergantungan. Hal ini adalah komitmen dan tema diplomasi yang gencar dilakukan oleh Presiden Prabowo di forum-forum global.
Tidak Perlu Khawatir
Jika KCIC benar-benar gagal bayar, China akan kehilangan lebih dari sekadar uang: ia akan kehilangan wajah di Asia Tenggara. Proyek ini adalah etalase BRI — dan jika etalase itu retak, citra seluruh toko ikut hancur.
Bagi Indonesia, situasi ini harus dibaca dengan cerdas. Gagal bayar memang risiko, tetapi juga peluang untuk menata ulang hubungan ekonomi yang lebih seimbang. Dalam dunia diplomasi modern, kekuatan tidak hanya diukur dari uang, tetapi dari kemampuan membaca momentum dan memainkan kartu tawar.
Dan dalam kasus KCIC, kartu itu kini berada di tangan Indonesia.(*)

