Akhirnya, saya kembali memperoleh kesempatan menginjakkan kaki di tanah Sorong, yang sekarang merupakan ibu kota Provinsi Papua Barat Daya. Saya terakhir ke wilayah ini cukup lama, pada dekade 1990-an. Ketika itu, saya sudah kuliah. Almarhum ayah saya kembali di tugaskan ke Sorong. Beberapa kali saat libur kuliah, saya pulang ke rumah orang tua, di Sorong.
Memori tentang Sorong tempo doeloe sudah lenyap. Satu-satunya yang masih saya ingat adalah daerah Klademak, daerah keluarga saya tinggal. Tidak jauh dari rumah ada pelabuhan kecil, tempat nelayan dan kapal ikan biasa membongkar hasil tangkapan. Saya beberapa kali datang ke pelabuhan ini.
Ketika tiba di Sorong hari ini, dalam perjalanan dari Bandara ke Hotel, saya bertanya kepada supir mobil rental yang membawa saya dan rombongan: “Apakah Klademak jauh?”. Pak supir asal Jawa Timur bernama Mas Win itu hanya menjawab singkat “tidak terlalu jauh dari sini”.
Identitas baru
Kota Sorong sekarang makin maju, mungkin dampak langsung status sebagai Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya, yang baru dimekarkan dari Papua Barat pada Desember 2022. Selain itu, Sorong juga adalah pintu masuk ke kawasan wisata Raja Ampat yang kini mendunia.
Dulu, Sorong pernah dikenal sebagai “Kota Minyak”. Sejarah tambang minyak di kota ini dimulai sejak tahun 1935. Perusahaan Belanda, NNGPM menemukan dan memulai eksplorasi minyak di sekitar Sorong dan Pulau Doom. Hal ini membuat Sorong menjadi kawasan strategis bagi Belanda karena potensi kekayaan alamnya.
Pada masa Perang Dunia II, kandungan dan operasional tambang minyak ini membuat Jepang yang menduduki Indonesia pada 1942 ikut menurunkan pasukan di daerah ini.
Kini, identitas Kota Minyak nyaris lenyap. Kebanyakan pengunjung dari mancanegara bertujuan ke daerah Raja Ampat. Ini adalah daerah wisata bahari dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Sorong lebih dikenal sebagai “Gerbang Menuju Raja Ampat”.
Namun, seperti halnya kota-kota lain di Papua, ekonomi daerah digerakkan oleh pendatang. Mayoritas warga asli menjadi penonton, duduk di kursi pinggir lapangan, sambil menyaksikan para pemain ekonomi dan politik berlaga di lapangan.
Padahal, sebagai pemilik daerah ini, warga lokal dan masyarakat adat sejatinya harus ada di lapangan. Entah kapan.(*)