Muhyudin Moridu dan Ironi Kejujuran

Muhyudin Moridu dan Ironi Kejujuran

Di negeri ini, orang sering berpesan kepada anak-anaknya: “Nak, jadilah orang jujur.” Kata itu terdengar manis, mulia, dan luhur. Tapi ternyata, ada harga yang harus dibayar. Dan harganya? Sangat mahal.

Contohnya datang dari seorang politisi asal Gorontalo, Muhyidin Moridu. Ia bukan pejabat tingkat tinggi, bukan pula menteri yang setiap hari muncul di televisi. Tapi tiba-tiba namanya melambung. Bukan karena skandal, bukan juga karena prestasi gemilang, melainkan karena satu hal sederhana: ia jujur.

Bayangkan, Muhyidin dengan polosnya berkata terang-terangan: “Saya pergi merampok uang negara.”

Kalimat itu sontak membuat gempar. Di negeri yang sudah lama terbiasa dengan bahasa halus, metafora, dan permainan kata, kejujuran blak-blakan seperti itu terdengar asing. Orang biasanya bilang “optimalisasi anggaran,” “penyesuaian belanja,” atau “mark-up wajar.” Tapi tidak dengan Muhyidin. Ia tak mau berputar-putar. Ia pakai diksi rakyat jelata: merampok.

Justru dihukum

Ironisnya, kejujuran itu justru jadi malapetaka. Partainya segera bereaksi. Bukan dengan menepuk pundaknya sambil berkata, “Terima kasih sudah jujur, mari kita benahi bersama.” Oh tidak. Reaksi partai justru lebih keras dari hakim: Muhyidin dipecat.

Jadi, apa pelajaran moralnya? Rupanya, di republik ini, kejujuran itu ibarat barang mewah—mungkin setara berlian biru atau jam tangan Swiss edisi terbatas. Hanya saja, kalau berlian bisa menaikkan gengsi, kejujuran malah bisa menurunkan karier.

Lihatlah ironi yang menggelitik:

Seorang pejabat yang ketahuan korupsi bisa mengaku “khilaf” lalu tetap dipertahankan.

Seorang politisi yang pandai berbohong dianggap strategis karena bisa “mengolah narasi.”

Tapi seorang politisi yang jujur? Tidak ada tempat untuknya.

Muhyidin adalah bukti nyata bahwa kejujuran bukan hanya mahal—ia bisa jadi terlalu mahal untuk ditanggung.

Mungkin, di masa depan, orang tua akan mengubah nasihat mereka. Bukan lagi, “Nak, jadilah orang jujur,” tapi, “Nak, belajarlah berkata manis. Kalau jujur, jangan di depan umum.”

Dan kita, sebagai rakyat, hanya bisa tersenyum getir sambil bertanya-tanya:

Apakah negeri ini benar-benar ingin orang jujur, atau hanya ingin orang pandai berpura-pura?(*)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *