Jika kita cermati, penanganan wabah Covid-19 di Indonesia sangat didominasi oleh peran negara. Sumber kendali, interpretasi, dan informasi terkait pandemi ini berasal dari negara.
Sementara itu, suasana ketakutan tercipta (atau diciptakan?) dari narasi-narasi kontradiktif. Pada satu sisi, otoritas pengendali informasi mengucapkan bahasa normatif, namun disisi lain terdapat praktek yang tidak mendukung narasi tersebut.
Contoh yang terekam dari pembicaraan dengan tetangga:
Narasi otoritas:
Jenazah orang yang terpapar Covid-19 tidak berbahaya. Warga tidak perlu menolak pemakamannya.
Praktek otoritas:
Pemakaman oleh petugas memakai APD lengkap, hanya boleh dihadiri keluarga inti jika memakai APD lengkap juga. Tidak boleh ada persemayaman, dari Rumah Sakit langsung ke pemakaman. Bahkan, jenazah muslim dishalatkan ditempat pemulasaraan jenazah.
Pertanyaan warga:
Jika jenazah tidak berbahaya, kenapa perlakuannya begitu “menyeramkan”?
Penjelasan otoritas:
Karena jenazah masih mengandung cairan yang dapat menularkan virus.
Pertanyaan warga:
Lho, kan sudah diproses ketat, dibungkus berlapis-lapis, diberi peti. Berarti jenazah masih berbahaya.
Penjelasan otoritas:
Tidak, virus hanya hidup di makhluk hidup. Kalau dimedium bukan makhluk hidup, hanya beberapa jam saja.
Pertanyaan warga:
Kalau begitu, kenapa tidak dibiarkan dulu di ruang jenazah selama beberapa jam? Agar ada kesempatan bagi keluarga dan kerabat memberi penghormatan terakhir.
Lalu dialog atau debat ini bisa panjang…
Ada banyak contoh yang bisa diceritakan tentang paradoksnya narasi dan realitas, terutama pada narasi yang dikendalikan oleh negara. Kampanye untuk melakukan social distancing atau physical distancing, justru tidak didukung contoh yang memadai.
Atau kampanye agar masker jenis N95 hanya digunakan oleh tenaga medis. Tetapi flayer dan material kampanye memakai masker menampilkan pejabat yang berpose dengan masker N95. Jadi, ada fenomena miskin contoh.
Ada lebih banyak lagi narasi yang disampaikan otoritas, namun tidak cukup didukung praktek dan fakta. Maka, rakyat menjadi bingung.
Kekhawatiran kita sebenarnya bukan hanya pada serangan wabah. Tetapi pada gejala distrust, hilangnya kepercayaan rakyat terhadap apa yang dinarasikan otoritas.
Kita tahu bagaimana mengatasi hal ini. Tapi nampaknya kita belum cukup melakukan upaya kesana.(*)