Hari ini, 1 Oktober 2017, adalah Hari Kopi Internasional (International Coffee Day). Pada saat membuka akun-akun sosial media, banyak vendor, cafe, atau coffeeshop sedang menawarkan berbagai promosi. Tentu saja, maksudnya adalah turut meramaikan peringatan ini, hari yang rencananya akan menjadi ajang aktualisasi diri. Masa dimana para peminum, produsen, distributor, pengusaha, pembuat, dan petani kopi sedunia tampil.
Tetapi, bagaimana asal mulanya? Mengapa tanggal 1 Oktober yang dipilih? Dan bagaimana dengan Indonesia?
Berawal dari Milan ?
Peringatan ini pertama kali diumumkan secara resmi oleh International Coffee Organization (ICO) pada tahun 2015, pada ajang World Expo Milani yang terkenal. Peringatan ini diharapkan menjadi ajang promosi, sekaligus sebagai momen merayakan kopi sebagai minuman pendamping. Selain itu, ada visi besar dibaliknya, yaitu untuk selalu mengingatkan publik tentang seluk-beluk setiap kopi yang diminum. Publik sering lupa, bagaimana kopi diproduksi, bagaimana prinsip-prinsip perdagangan yang adil, hak-hak dan nasib para petani yang bekerja menghasilkan kopi.
Sebenarnya, sebelum hari ini ditetapkan oleh ICO, beberapa negara telah memiliki perayaan sendiri. Di Jepang, perayaan hari kopi nasional telah dimulai sejak tahun 1983, juga pada tanggal 1 Oktober. (Meskipun saya tidak mengetahui bagaimana proses negosiasi di ICO saat memutuskan tanggal International Coffee Day, patut diduga peranan Jepang cukup penting. Apalagi, negara ini adalah konsumen kopi terbesar ke-3 di dunia).
Sementara di Amerika Serikat, National Coffee Day telah dirayakan sejak tahun 2005. ICO sebelumnya telah mempromosikan International Coffee Day di China pada 1997. Sejak tahun 2001 dirayakan secara rutin di negara Tirai Bambu ini pada awal April. Begitu juga di Nepal, yang telah menjadikan 17 November sebagai Hari Kopi Nasional sejak tahun 2005.
Pada bulan Maret 2014, negara-negara anggota ICO menyepakati 1 Oktober sebagai International Coffee Day, dan perayaan pertama kali pada tahun 2015. Tujuannya adalah untuk memberi ruang bagi mereka-mereka yang terkait dengan kopi dalam menunjukkan kecintaan mereka pada minuman ini. Biasanya, ritual peringatan ini dimulai sejak tanggal 29 September, dan puncaknya adalah pada tanggal 1 Oktober. Itulah sebabnya, di banyak negara keramaian dalam bentuk promo, diskon, dan festival telah mulai sejak akhir September.
Indonesia
Menurut data ICO, dalam lima tahun terakhir Indonesia adalah negara produsen dan eksportir kopi nomor empat terbesar di dunia. Indonesia berada dibawah (berturut-turut) Brazil, Vietnam, dan Columbia. Indonesia juga tercatat sebagai bangsa peminum kopi terbesar nomor lima di dunia, setelah Uni Eropa, Amerika Serikat, Brazil, dan Jepang.
Pada tahun 2015, Kementerian Perindustrian RI mencanangkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kopi Nasional. Perayaan ini nampaknya mengikuti keputusan 74 negara anggota ICO yang sebelumnya telah menetapkan tanggal yang sama sebagai Hari Kopi Nasional. Pencanangannya dilakukan oleh Menteri Perindustrian (ketika itu), Saleh Husein.
Sebenarnya, cikal bakal perayaan kopi sebagai salah satu kebanggaan nasional telah ditunjukkan melalui inisiatif-inisiatif yang belum sistematis. Indonesia memang patut berbangga dengan posisi unggul dalam hal produksi dan konsumsi kopi ini.
Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hamburg , Jerman sejak tahun 2005 selalu mengadakan semacam Hari Kopi Nasional. Ini dirangkaian dengan perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus di konsulat. Menurut laporan The Hamburg Express, pada peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-64 (tahun 2009), Konsulat Jenderal RI juga menyelenggarakan “the 4th Annual Coffee Day”.
Konsulat Jenderal Indonesia disana menyadari bahwa kopi yang diproduksi Indonesia dapat menjadi alat diplomasi bagi warga Jerman dan Uni Eropa, terutama dari pendekatan diplomasi publik. Indonesia adalah negara produsen kopi keempat terbesar di dunia, sementara Uni Eropa, dimana Jerman adalah salah satu bagiannya, merupakan konsumen kopi terbesar di dunia.
Menurut catatan, setiap tahunnya Warga Jerman meminum rata-rata 148 liter kopi per orang, lebih banyak ketimbang meminum air putih dan beer.
Diplomasi Kopi
Sebagai produsen (yang sekaligus juga konsumen), Indonesia sebenarnya memiliki kesempatan luas untuk memanfaatkan komoditas ini sebagai instrumen diplomasi yang lebih luas. Adalah lazim setiap negara di dunia, memanfaatkan keunggulan produk mereka sebagai instrumen diplomasi, terutama diplomasi publik. Metodenya bisa melalui penciptaan citra, diplomatic chips pada forum negosiasi internasional, atau melalui perundingan perdagangan komoditas pada forum seperti World Trade Organization (WTO).
Kopi merupakan komoditas yang melibatkan banyak orang, banyak bisnis turunan, memiliki pengaruh ekonomi, serta juga telah menjadi gaya hidup baru. Komoditas yang awalnya dikonsumsi secara tradisional ini, dewasa ini telah menjadi minuman yang dapat disajikan dengan kelas dan elegansi tertentu. Suatu cafe franchise yang berasal dari Thailand bahkan mengambil slogan: drink from heaven, available on earth. Suatu laporan di media online OkeZone mengisahkan bagaimana komiditi yang dihasilkan di Toraja, Sulawesi Selatan dengan label “Minuman Para Dewa” yang digandrungi oleh para elit Eropa dan Jepang pada masa penjajahan dulu.
Kekuatan ini seharusnya disadari, dan seharusnya juga ada langkah nyata untuk mengaktualisasikannya. Mungkin saja hal ini telah dilakukan oleh diplomat kita, tetapi nampaknya belum terasa hingga ke level masyarakat. Penciptaan citra, misalnya, meskipun daerah-daerah Indonesia adalah penghasil kopi dengan karakter khas, namun warga dari daerah tersebut belum menjadikan label daerahnya sebagai kebanggan sebagai alat identifikasi diri di luar negeri.
Saya membayangkan, dalam forum-forum internasional di Jepang, misalnya, teman-teman yang berasal dari Sulawesi (terutama Sulawesi Selatan), akan memperkenalkan diri: “My name is …., I am from Indonesia, come from a region called South Sulawesi where Toraja Coffee are produced”.
Seharusnya, itulah makna International Coffee Day itu.(*)