Kalimat dijudul ini kebetulam saja saya baca, tapi lupa kapan dan dimana. Pesannya, jaman dulu bangsa kita dikuasai melalui kolonialisasi. Dalihnya berdagang, tetapi di belakang (bahkan tidak jarang di depan) para pedagang itu ikut pula bala tentara mengiringi.
Dewasa ini, tentara tidak bisa lagi keluar masuk teritori suatu negara begitu saja. Aribut kedaulatan nasional yang dilegalkan melalui Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 memberi kendali penuh setiap negara terhadap wilayah dan teritorinya. Ruang gerak dan peluang untuk kolonialisasi semakin sempit.
Sementara itu, prinsip menguasai dan mengendalikan kedaulatan adalah kontrol terhadap entitas negara. Maka, para aktor politik internasional menempuh cara-cara legal yang memungkinkan. Konspirasi adalah salah satu strateginya.
Setiap negara selalu memiliki kerja sama dengan pihak eksternal, baik negara lain maupun entitas non-negara lain. Dalam setiap kerja sama, selalu terbuka peluang untuk menyisipkan (bahkan menyusupkan) elemen-elemen yang berada di luar cakupan kerja sama.
Misalnya, dua negara bekerja sama dalam bidang pembangunan infrastruktur padat karya. Dalam diktumnya, tercantum hak pihak kuar untuk menyertakan tenaga kerja mereka dalam proyek. Dalam prakteknya, dikirimlah ratusan hingga ribuan tenaga kerja asing untuk mengerjakan proyek.
Orang-orang asing yang datang bisa jadi campur baur antara benar-benar pekerja dan bukan pekerja. Paling ekstrimnya adalah agen-agen intelijen. Namun, bisa juga para kriminal yang akan melakukan kejahatan terorganisir. Bisa jadi menyelundupkan narkotika, melakukan pencucian uang, atau mungkin perdagangan manusia.
Konspirasi dalam bentuk lain adalah infiltrasi nilai, yang dikenal sebagai insepsi soft power. Cara ini sangat halus, dan benar-benar tidak terasa. Apalagi instrumen yang digunakan adalah medium populer yang diterima luas, misalnya film, mode, gaya hidup, dan nilai. Tiba-tiba saja, misalnya, kita menemukan generasi milenial yang lebih kenal artis-artis Korea ketimbang pahlawan nasional.
Begitulah…
Kekhawatiran terhadap konspirasi (melalui soft power) bukan saja melanda negara berkembang atau middle power countries seperti Indonesia. Amerika Serikat, sang super power, juga ditimpa serangan serupa. Itulah salah satu alasan Presiden Donald Trump memutus banyak sekali kerja sama ekonomi dengan negara lain. Apalagi, ketika ia menyadari bahwa semakin banyak rumah produksi film yang besar-besar di Amerika kini dikuasai China. Trump tidak rela Hollywood jatuh ke tangan asing. Ia sadar betul kekuatan apa yang ada dibalik industri film.
Pada masa lalu, konspirasi mungkin saja marak dilakukan oleh agen-agen intelijen. Semua tentu pernah mendengar tentang Central Intelligence Agency (CIA). Kemudian, para pelaku bisnis internasional menyusul dengan iming-iming uang, pembangunan, dan kesejahteraan.
Kini, para konspirator mulai berada di wilayah abstrak tetapi berdampak nyata. Wilayah persepsi dan nilai. Para aktornya mulai berkolaborasi. Dan kita perlu siaga.(*)