Suatu ketika, saya menemukan tulisan di dinding tembok pagar tidak jauh dari rumah saya. Awalnya, tulisan itu bersahabat: “DISINI BUKAN TEMPAT MEMBUANG SAMPAH”. Nampaknya, penghuni rumah dekat situ merasa tidak nyaman karena ada orang (entah siapa) membuang sampah dan membiarkannya tertumpuk berhari-hari di tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Jadi ia menulis seperti itu.
Tetapi, setiap waktu masih saja ada orang membuang sampah di tempat itu. Inilah masalah utama “public space”. Semua orang merasa memilikinya, dan semua orang merasa boleh seenaknya meletakkan dan menumpukkan sampah di sekitarnya. Padahal, semua orang sebenarnya tahu bahwa sampah yang tertumpuk dalam waktu lama akan menyebabkan banyak masalah: bau yang tidak sedap, pemandangan yang tidak asri, hingga aksesibilitas yang menjadi terganggu.
Maka, tidak lama setelah itu tulisan yang awalnya bersahabat di tembok mulai agak tegas. Nampaknya, penghuni rumah dekat situ yang membuat. Ia mengganti tulisan sebelumnya menjadi “ORANG YANG BISA MEMBACA TIDAK MEMBUANG SAMPAH DISINI”. Dengan tulisan berwarna merah menyala. Akan tetapi, tidak ada hasil apapun. Sampah tetap saja menumpuk, orang “tidak dikenal” selalu saja diam-diam membuang sampah disitu.
Maka, perlahan-lahan tulisan disitu berganti dari waktu ke waktu, dengan nada yang semakin lama semakin tegas. Misalnya, tulisa itu menjadi: “BILA KAMU BERPENDIDIKAN, JANGAN BUANG SAMPAH DI SINI !!!” (dengan tiga tanda seru). Tidak lama, tulisan itu berubah menjadi: “HANYA ANJING DAN BABI YANG BUANG SAMPAH DI SINI…”.
Tidak sampai disitu, tulisan itu kemudian berubah lagi menjadi: “YANG BUANG SAMPAH DI SINI SIAP-SIAP DIHAJAR MASSA!!!”. Tetapi dampaknya hanya sebentar. Tidak sampai seminggu, sampah terus berdatangan. Pada titik puncak keputusasaan, si penulis peringatan itu akhirnya mengganti tulisan dengan: “YA ALLAH, CABUTLAH NYAWA ORANG YANG BUANG SAMPAH DI SINI!!!”. Tetapi kemudian diganti lagi menjadi “YA ALLAH, MASUKKAN KE DALAM NERAKA ORANG YANG MEMBUANG SAMPAH DI SINI”.
Gagal Paham Logika Sampah
Saya bertanya-tanya, mengapa larangan membuang sampah itu tidak pernah efektif? Mengapa hingga pada level ancaman paling menakutkan sekalipun, orang-orang tetap saja membuang sampah pada tempat yang tidak seharusnya?
Pertama-tama, sampah adalah sesuatu yang lazimnya dibuang. Meskipun kini telah banyak inovasi pemanfaatan sampah untuk menghasilkan berbagai macam produk baru, namun masyarakat umum masih melihat sampah sebagai kumpulan benda-benda tidak berguna, sehingga seharusnya disisihkan.
Kedua, setiap waktu, manusia selalu memproduksi sampah. Disadari atau tidak, kita terus-menerus menghasilkan sampah dalam jumlah yang terus meningkat. Menurut data, rata-rata orang Indonesia menghasilkan 0,7 kg sampah per orang per hari, atau sekitar 175.000 ton sampah per hari, atau sekitar 63,8 juta ton per tahun. Jika persoalan ini tidak diatasi segera, diperkirakan, pada tahun 2019 produksi sampah di Indonesia akan mencapai 67,1 juta ton.
Persoalan lainnya adalah kebanyakan sampah yang dihasilkan oleh orang Indonesia merupakan sampah plastik. Jenis sampah ini sangat berbahasa bagi kelangsungan dan masa depan lingkungan hidup, mengingat karakternya yang tidak mudah terurai. Pada tahun 2014, Indonesia adalah penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China.
Pada saat bersamaan, sebagian besar kota-kota Indonesia belum maksimal mengelola sampah dalam model yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, sampah-sampah itu sebelum dibuang, seharusnya dipilah dan dipisah dulu dari sumber pertamanya, yaitu dari manusia. Pemilahan sampah seharusnya bukan dilakukan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, atau di bank-bank sampah yang kini banyak dibentuk.
Agar dapat mencapai situasi “sampah dipilah dari sumbernya”, satu hal penting yang dibutuhkan adalah “literasi sampah”. Dalam prakteknya, literasi sampah tidak cukup hanya dengan himbauan dan seruan, melainkan harus terbangun dalam sistem menyeluruh, mulai dari persuasif hingga tahapan koersif.
Jangan Melarang, Tetapi Menganjurkan
Kembali ke persoalan tulisan ancaman agar tidak membuang sampah di suatu tempat tadi. Nampaknya, kegagalan literasi sampah terlihat disitu. Warga selalu dibiasakan untuk menyerukan tidak membuang sampah pada suatu tempat, tetapi tidak dibiasakan memberikan solusi dimana seharusnya sampah dibuang. Mungkin saja, ini disebabkan tidak ada tempat pembuangan sampah itu.
Saya membayangkan, jika saja sistem literasi sampah bekerja. Pada saat ada suatu tempat yang dijadikan sasaran membuang sampah padahal disitu bukan tempat membuang sampah, otoritas setempat bersama-sama warga seharusnya segera menyiapkan tempat membuang sampah sementara. Kemudian di tempat tadi, dipasang tulisan yang berbunyi: “BUANG SAMPAH, 20 METER DI SISI KIRI” misalnya.
Artinya, orang-orang tidak perlu mengancam orang lain hanya karena urusan sampah. Jauh lebih baik memberikan solusi, dimana seharusnya sampah itu dibuang. (*)