Sepeda adalah kendaraan penting (jika tidak ingin disebut kendaraan utama) untuk komuter di Kyoto. Setiap hari, dimana saja, kapan saja, kita akan melihat orang berseliweran menggunakan sepeda. Sungguh pemandangan yang menyenangkan, mengingat dewasa ini semakin berkurang saja kota-kota di dunia yang masih mempertahankan kebiasaan warganya bersepeda. Kota-kota di Indonesia bahkan nyaris tidak ada lagi pengguna sepeda untuk aktivitas sehari-hari, kecuali untuk keperluan berekreasi dan berolah raga pada akhir pekan.
Mempertahankan warga agar mau terus menggunakan sepeda tentu bukan hal mudah. Bagi warga dan pengguna, mereka seharusnya menerima insentif yang nyata dari aktivitas menggunakan sepeda. Sehingga, menarik untuk menelisik alasan-alasan mengapa orang Kyoto masih terus saja menggunakan sepeda. Saya mencatat ada setidaknya empat alasan tambahan (selain alasan-alasan yang telah umum, misalnya: karena menyehatkan, karena lebih hemat energi, atau karena ramah lingkungan).
Inilah keempat alasan tersebut…
Alasan pertama adalah kenyamanan. Menggunakan sepeda di Kyoto jauh lebih nyaman bagi pengguna dibandingkan kendaraan umum lainnya. Ada anggapan umum di masyarakat bahwa di jalan raya, pengguna sepeda dan pejalan kaki adalah pihak-pihak yang harus dihormati dan dihargai. Sehingga, bagi setiap pengguna sepeda dan pejalan kaki akan selalu tersedia jalur jalan untuk mereka.
Selain itu, jika kita perhatikan di setiap penyeberangan jalan raya (zebra cross) mobil dan motor akan berhenti sejenak jika ada sepeda motor atau pejalan kaki yang akan menyeberang. Kesadaran seperti inilah yang membuat kebanyakan pengguna jalan merasa bahwa mereka memperoleh hak istimewa jika menggunakan sepeda atau berjalan kaki jika dibandingkan menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor.
Alasan kedua adalah berkaitan dengan status sosial. Seringkali di banyak kota di dunia, terutama di negara berkembang, ada anggapan bahwa menggunakan mobil merupakan pertanda status sosial yang tinggi. Sementara menggunakan sepeda berarti strata sosial rendah, karena tidak mampu membeli mobil.
Akan tetapi, hal ini tidak terjadi di Jepang. Menggunakan sepeda sebagai alat transportasi dilakukan karena pilihan sangat rasional. Tidak ada strata sosial yang melekat pada seorang pengguna sepeda. Di kebanyakan kampus-kampus besar, para professor, rektor, dekan, bahkan ahli-ahli peraih nobel di Kyoto (Kyoto University dikenal karena memiliki 8 ahli peraih nobel ilmu pengetahuan) bergerak kemana-mana menggunakan sepeda. Apalagi, pada dasarnya kebanyakan orang yang bekerja di Jepang, dan Kyoto khususnya, menggunakan kendaraan itu hanya pada pagi hari menuju kantor, dan sore hari ketika pulang. Jadi, untuk apa menggunakan mobil yang membutuhkan bahan bakar jika hanya akan diparkir dengan biaya parkir yang mahal? Maka, menggunakan sepeda (jika rumah jauh maka pilihannya adalah kereta atau subway) adalah pilihan paling rasional.
Alasan ketiga adalah soal keamanan. Jalur bagi pengguna sepeda di daerah-daerah yang padat kendaraan bermotor selalu didesain seaman mungkin, sehingga memastikan bahwa pengguna sepeda selalu terlindungi. Polisi juga selalu memperhatikan kelengkapan setiap pengguna sepeda, misalnya lampu (untuk keperluan bersepada malam hari), atau memeriksa rem secara rutin. Selalu saja ada petugas yang memberhentikan sepeda untuk memeriksa rem, dan menyetelnya jika dirasa kurang cengkeraman. Jika telah diperiksa, sepeda akan diberi stiker, sehingga tidak perlu terus-terusan dihentikan oleh petugas. Nanti pada beberapa bulan kemudian baru akan dihentikan lagi.
Alasan terakhir adalah soal kemudahan parkir yang murah (bahkan sebagian besar adalah gratis), serta mudah ditemukan di banyak tempat. Umumnya, di gedung-gedung pemerintah, di kampus-kampus, atau di pasar dan pusat berbelanjaan, parkir adalah gratis. Sementara di stasiun kereta atau di pusat perbelanjaan, parkir berkunci biasanya berbayar cukup murah, sekitar 100-150 Yen setiap 6 jam atau lebih. Bahkan, tidak jarang ada tempat parkir yang memberi 200 Yen untuk 24 jam. Bandingkan dengan parkir untuk mobil yang bisa mencapai ribuan yen untuk setiap beberapa jam. Seorang teman saya mengatakan bahwa untuk parkir mobilnya di dekat apato, ia harus membayar sekitar 30.000 yen (lebih 3 juta rupiah) setiap bulan.
Akan tetapi, tetap saja ada warga yang nakal dan memarkir sepedanya sembarangan. Meskipun sudah diberi tanda tidak boleh parkir, ada saja yang melanggar. Untuk mengatasi hal-hal seperti, maka pada waktu-waktu tertentu akan ada petugas dari pemerintah kota yang mengangkut sepeda-sepeda yang terparkir pada tempat-tempat dilarang parkir. Bisa sampai ratusan sepeda yang terjaring kalau sudah ada razia seperti ini. Sepeda-sepeda itu akan disimpan di tempat yang disebut “penjara sepeda”. Untuk menebus sepeda kita yang tertangkap dan dimasukan penjara ini, kita harus menebus 3.000 yen per sepeda.
Banyak yang menganggap bahwa bersepeda di Jepang agak rumit dan penuh aturan. Hal itu betul, namun sebenarnya aturan itu tidak sulit untuk dijalankan. Misalnya, aturan mengenai lampu depan, mengenai berboncengan yang tidak boleh kecuali untuk anak-anak di bawah usia 10 tahun tetapi harus di tempat duduk khusus, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk keselamatan dan kenyamanan saja sebenarnya. (*)