Pada 11 Januari 2014, berita duka datang dari Israel. Mantan pemimpin negara itu, yang juga dikenal sebagai legenda medan perang, wafat. Namanya Ariel Scheinermann. Akan tetapi ia lebih dikenal masyarakat dunia sebagai Ariel Sharon. Ia menjabat Perdana Menteri Israel pada 2001-2006, setelah sebelumnya pernah menduduki berbagai jabatan penting di pemerintahan Israel.
Nama Ariel Sharon adalah kontradiksi. Bagi publik di negaranya, ia adalah pahlawan. Michael Kramer (1982) menyebutnya: “panglima perang terhebat dalam sejarah Israel” dan “salah seorang ahli strategi terbesar Israel”. Label itu mungkin tidak ada salahnya. Ariel Sharon telah “mengabdi” sejak didirikannya angkatan bersenjata Israel pada saat ia masih berusia 20-an tahun di tahun 1948. Sejak itu, ia terlibat bahkan memimpin berbagai pertempuran yang melibatkan negaranya. Di mata warga Israel, berbagai sebutan baik akan disematkan kepadanya: lelaki berani, setia dan cinta tanah air, gagah, tegas, kharismatik, pekerja keras, dan berbagai atribut positif lainnya.
Sementara itu, bagi musuh-musuhnya, dan juga bagi banyak warga dunia yang rajin memelototi dinamika politik regional di Timur Tengah, nama Ariel Sharon bisa jadi diidentikkan dengan sifat-sifat “over-macho” yang sangat dekat pada kebejatan. Label itu dilekatkan pada dirinya, sekaitan masa lalu dan jejak yang ia tinggalkan dalam sejarah modern Israel. Ia menuliskan jejak itu dengan banyak tinta hitam.
Jejak paling kental ia tinggalkan ketika menjabat Menteri Pertahanan Israel pada 1981-1983. Puluhan ribu tentara Israel ia kerahkan untuk menginvasi Lebanon telah berkontribusi pada serangkaian pembantaian terhadap milisi Palestina dan Lebanon. Pada 1982, Pembantaian Sabra dan Shatila yang monumental (karena kengerian yang ditinggalkan) menewaskan 700 hingga 3.000-an warga sipil dengan cara dipenggal. Keterlibatan Ariel Sharon dalam pembantaian ini adalah nyata. Bahkan, komisi investigasi yang dibentuk Pemerintah Israel sekalipun (Kahan Commission) menyebutkan pada kesimpulan akhirnya: tindakan tentara Israel disetujui oleh Menteri Pertahanan Ariel Sharon. (Laporan pada website Kementerian Luar Negeri Israel ini tertulis: “We have found, as has been detailed in this report, that the Minister of Defense bears personal responsibility….”).
Menyusul kecaman luar biasa masyarakat dunia, Ariel Sharon ditarik dari posisi “panas”-nya. Ia kemudian ditempatkan pada posisi-posisi yang lebih “sejuk”: Menteri Industri, Perdagangan dan Buruh (1984-1990), Menteri Perumahan dan Konstruksi (1990-1992), Menteri Sumber Daya Energi dan Air (1996-1999), dan Menteri Luar Negeri (1998-1999). Pada masa-masa pendiaman ini, mungkin Sharon menyesali perbuatannya. Tetapi, mungkin juga ia merasa bangga telah memiliki jejak dalam sejarah, meskipun itu jejak yang kelam.
Pada Maret 2001, Ariel Sharon memenangkan dukungan politik melalui Partai Likud yang dipimpinnya, yang mengantarnya menduduki posisi Perdana Menteri (2001-2006). Banyak analis mengkhawatirkan naluri serigala dalam dirinya akan mengliar kembali. Namun menjadi politisi mungkin telah mengubah banyak hal dalam dirinya. Ia menjadi lebih kompromistis, terutama dalam hubungan dengan musuh bebuyutan negaranya. Pada masa jabatannya sebagai Perdana Menteri, ia banyak menarik simpati dunia karena langkah-langkah maju yang diambil dalam perdamaian dengan negara-negara tetangganya, terutama Palestina.
Akan tetapi, wajah baik yang ia tampilkan tidak membuat publik melupakan sosok lamanya yang mengandung kebengisan. Setelah bertahun-tahun mengalami perawatan karena sakit, ia seolah hilang dari pandangan publik, tetapi tidak dari memori. Ketika ia wafat, tidak sedikit yang merelakan kepergiannya dengan perasaan senang. Faksi politik Hamas di Palestina secara terang mengungkapkan rasa suka cita atas kepergiannya. Sementara banyak yang lain melepas kepergiannya tidak saja dengan uraian air mata, tetapi juga uraian masa kelamnya. Koran Inggris, The Telegraph, menulis “laid to rest, but not in peace“. Juga belasan media massa dunia melepasnya dengan tulisan-tulisan yang menyesalkan kewafatannya yang seolah membebaskannya dari tanggung jawab.
Mencermati bagaimana publik dunia mengenang Ariel Sharon dan dosa-dosanya membawa saya teringat pada sosok Ariel of Indonesia, a.k.a. Ariel Peterpan. Anak muda flamboyan bernama asli Nazriel Ilham, bersuara memikat, dan populer ini pada 2010 menjadi sasaran hujatan publik Indonesia, setelah skandal perzinahannya dengan Luna Maya dan Cut Tari terbongkar. Kata “zinah”, bagi banyak penganut Islam (agama yang dianut oleh lebih 85% penduduk Indonesia) berkonotasi bejat dan menjijikan. Dan kebejatan Ariel ini tidak saja terekam dalam ingatan publik, bahkan juga terdokumentasi dengan baik pada ribuan, mungkin jutaan handphone dan harddisk.
Ariel Peterpan menjalani persidangan, mendekam dua tahun lebih di penjara. Ketika masa hukuman formal itu selesai, dengan meyakinkan ia kembali tampil menjadi sosok penghibur. Publik Indonesia dengan lapang dada menerimanya, membeli rekaman lagu-lagunya, menghadiri konser-konsernya, dan membawanya kembali ke puncak popularitas. Mungkin, banyak orang yang hingga kini masih mendengar lagu-lagu terbarunya bersama grup band NOAH, sambil menonton sembunyi-sembunyi videonya bersama Luna Maya atau Cut Tari.
Saya tidak tahu. Apakah hukuman penjara dapat menghapus memori terhadap kebejatan seseorang, hanya dalam waktu yang begitu singkat? Ataukah, seperti yang sering kita dengar kata pengamat di televisi, publik Indonesia sangat murah hati dan pemaaf? Entahlah….
Bagi saya, dosa-dosa dua Ariel ini mengandung kisahnya sendiri. Persoalannya, seberapa besar otak publik untuk mengingat. Bagi Ariel Sharon, ada begitu banyak keluarga korban yang akan memonumenkan dirinya. Sementara bagi Ariel Peterpan, ada sekian banyak orang Indonesia yang masih menyimpan video-videonya. Atau paling tidak, ada Cut Tari yang akhirnya diceraikan suaminya yang penyabar.
Dunia ini menjadi aneh, lebih karena manusia-manusianya, saya kira…(*)
Terima kasih atas informasinya