Hari ini ada pengalaman menarik. Saya diundang oleh beberapa mahasiswi Doshisha Women College of Liberal Arts (DWCLA) untuk menjadi nara sumber pada interview kelompok tentang impresi sebagai penganut Islam terhadap budaya Jepang. Saya dipilih karena berasal Indonesia, negera dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Ada dua orang yang diundang. Seorang lagi adalah Ms. Rehab, mahasiswi Global Studies yang berasal dari Palestina.
Proses interview diawali event mempelajari sekilas tentang dua tradisi yang cukup populer di Jepang, yaitu menulis kaligrafi dan mengikuti prosesi minum teh (tea ceremony). Dua tradisi ini paling banyak ditawarkan di Kyoto. Meskipun telah dua tahun tinggal disini, dan sudah sering mendengar tentang kesempatan untuk mengikuti kedua prosesi ini, saya belum sekalipun berkesempatan mengikutinya. Maka kesempatan ini sungguh berharga. Apalagi, setelah prosesi itu ada kegiatan interviewnya.
Tempat melaksanakan prosesi ini adalah di sebuah agensi bernama WAK Japan. Letaknya di daerah Marutamachi, Kyoto, yang memang menawarkan pelayanan melatih singkat kaligrafi dan mengikuti minum teh bagi wisatawan. Agensi ini didirikan oleh Mrs. Michi Ogawa, seorang wanita paruh baya yang menghabiskan belasan tahun hidupnya di Eropa sebelum memutuskan untuk kembali ke Kyoto dan menjaga kelestarian tradisi ini.
(Saya akan membagi tiga postingan ini. Pertama, tentang kaligrafi, kemudian tentang prosesi minum teh, dan terakhir tentang wawancara dan diskusi yang berlangsung setelah kedua prosesi itu).
Menulis kaligrafi Kanji ternyata telah menjadi tradisi spiritual bagi warga Jepang. Meskipun pembuatan kaligrafi itu aktivitas utamanya adalah menggoreskan kuas di atas kertas untuk membentuk karakter Kanji, tetapi ada masa-masa penyatuan spiritual antara sang penulis kaligrafi dengan kaligrafi yang akan dia buat.
Dalam bahasa Jepang, kaligrafi disebut shodo (書道). Kata ini terdiri dari sho (書), yang berarti “pernyataan atau pengungkapan” dan do (道), yang artinya “jalan atau way of life“. Jadi, dalam tradisi Jepang, kaligrafi merupakan jalan atau cara yang berkaitan dengan pengungkapan perasaan, atau cara menyatakan perasaan.
(Bagi yang senang dengan tradisi Jepang, pasti mendengar istilah Bushido, kan… Nah, bushi itu artinya ksatria atau seringkali juga diartikan samurai. Jadi Bushido itu ternyata maknanya adalah jalan kstraria atau cara-cara ksatria. Begitu kira-kira pemaknaan elemen “do” pada shodo ini).
Saya tidak sempat menghafal dengan baik penjelasan singkat yang diberikan oleh instruktur (namanya Tomoko San), tetapi sekilas saya tahu bahwa ternyata ada bermacam-macam jenis penulisan karakter Kanji. Ini bisa diketahui dari wujud yang dihasilkan. Ada tensho, ada reisho, dan lain-lain, tergantung dari model karakter yang dihasilkan.
Juga ada banyak nilai spiritual yang terkandung di dalam kaligrafi Jepang, mulai dari pembuatan, penulisan, hingga pemajangan atau peruntukan. Lagi-lagi, karena waktu yang singkat, kami tidak sempat dijelaskan semuanya. Saya yakin pastilah membutuhkan waktu berhari-hari bahkan mungkin bisa berbulan-bulan untuk memahami semua nilai dibalik kaligrafi Jepang.
Bahan utama prosesi menulis kaligrafi adalah tinta (sumi), kertas (washi), tempat tinta (suzuri), penindis kertas (bunchin), pengalas untuk mencegah agar tinta tidak meluber (shitajiki), kuas (fude), dan stempel identitas pembuat (inkan atau hanko).
Tinta yang digunakan adalah tinta padat (sumi), terbuat dari campuran jelaga dan bahan perekat yang diambil dari lemak hewan (saya tidak sempat menanyakan bagaimana proses membuatnya, namanya saja kursus singkat….hehehe). Kualitas sumi ditentukan oleh usianya. Semakin tua usia sumi, semakin baik kualitasnya. Sumi berkualitas standard berusia antara 50 sampai 100 tahun… Wow! (Jadi ingat peragian anggur… )
Untuk mengencerkannya, digunakan tempat tinta dari batu (suzuri). Sumi digosok-gosokkan atau tepatnya diparut pada suzumi yang telah diberi sedikit air. Nah, pada saat mulai menggosok-gosok sumi, proses penyatuan spiritual antara pembuat kaligrafi dengan karya kaligrafinya dimulai. Kata Tomoko San, mengubah sumi menjadi tinta siap pakai biasanya membutuhkan waktu antara 15 -30 menit. Pada saat menggosok-gosok sumi, pembuat kaligrafi melakukannya dengan khidmat, mengkonsentrasikan perasaannya, dan bersiap untuk mentranformasikan perasaannya itu pada karya yang akan dihasilkannya.
Setelah tinta siap, pembuat kaligrafi masih akan melakukan semacam meditasi singkat untuk mengosongkan pikirannya dan hanya berkonsentrasi pada kaligrafi yang akan dihasilkan. Lalu, dimulailah proses pembuatan kaligrafi.
Karena waktu yang terbatas, maka hari itu kami tidak sempat merasakan bagaimana pembuatan tinta cair dari bahan sumi (saya kira, mungkin juga karena sumi yang asli pastilah harganya mahal, mengingat usianya yang begitu tua).
Jadi, kami hanya diajari teknik-teknik dasar menulis kaligrafi Jepang, bagaimana membuat empat garis utama, yaitu mendatar, tegak lurus, diagonal kiri dan diagonal kanan. Bagaimana posisi tubuh yang seharusnya, bagaimana posisi tangan, dan bagaimana kuas itu digerakkan. Semuanya memiliki makna spiritual masing-masing.
Lagi-lagi, ternyata membuat garis-garis itu bukan hanya asal garis. Ada momentum-momentum tertentu kapan dan dimana kuas itu ditekan, kapan kuasnya tidak ditekan. Dan itu membutuhkan latihan untuk mendalaminya. Menurut Tomoko San, seorang penulis kaligrafi yang sesungguhnya bisa menghabiskan seluruh hidupnya sebelum ia mampu menghasilkan kaligrafi master piece.
Setelah berlatih selama hampir sejam, akhirnya berhasil juga saya menghasilkan kaligrafi Jepang saya yang pertama. Tentu saja hasilnya jauh dari sempurna. Tetapi, proses ini cukup mengesankan. Pada akhir pembuatan, kaligrafi yang saya buat itu diberi stempel. Karena saya tidak membawa hanko saya, dan kebetulan DAK Japan mempersiapkan beberapa pilihan hanko untuk memberi label kaligrafi yang dihasilkan pengunjung, maka jadilah kaligrafi saya lengkap dengan labelnya, yang menandakan kesempurnaan proses pembuatan kaligrafi. (*)
PS: Postingan berikut, tentang prosesi seremoni minum teh Jepang.