Gerakan demokrasi yang saat ini sedang menerpa negara-negara Timur Tengah merupakan salah satu pembuktian dari banyak analisis tentang dinamika internasional dewasa ini. Kebanyakan ahli sepakat bahwa demokrasi merupakan dorongan yang tidak terhindarkan, dimana dewasa ini tersisa dua pilihan ekstrim: demokratis atau tidak demokratis.
Sejak dekade 1990-an, yaitu sejak berakhirnya perang dingin, dorongan demokrasi di dunia semakin tidak terhindarkan. Setelah berakhirnya era containtment policy dan perebutan hegemony antara Blok Barat dan Blok Timur, puluhan rejim-rejim otoriter di dunia berjatuhan. Di awali dengan perubahan besar di Eropa Timur, lalu bergerak ke Amerika Latin, lalu merangsek ke Asia, kini tiba negara-negara Timur Tengah mengalami perubahan.
Transisi menuju demokrasi tidak seluruhnya berhasil. Terutama dalam konteks dikotomi antara “demokrasi” dan “kesejahteraan”. Banyak negara-negara otoriter yang bertransisi menuju demokrasi membutuhkan jalan panjang dan waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi itu sendiri. Dalam banyak kasus (pengecualian mungkin dapat diberikan terhadap negara-negara Amerika Latin), transisi demokrasi lebih banyak dipengaruhi oleh tekanan eksternal (internasional) dibandingkan dorongan dari dalam negeri.
Dalam ulasannya tentang proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia, William Liddle dalam buku “Revolusi dari Luar” (2004) mengidentifikasi bahwa transisi tersebut lebih banyak ditekan dari luar negeri dan dunia internasional dibandingkan oleh keinginan domestik. Bantuan demokrasi merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh dunia internasional untuk mendorong transisi demokrasi.
Dengan dana jutaan dollar yang disediakan oleh berbagai lembaga donor internasional, kelas menengah dan kelompok-kelompok masyarakat sipil di dalam negeri bekerja untuk mendorong demokrasi. Dampaknya adalah hampir tidak ada independensi dalam menemukan formula demokrasi yang sesuai dengan nilai domestik.
Proses transisi demokrasi yang tampak di banyak negara-negara paska otoriter umumnya berhenti pada proses perubahan prosedur demokrasi, dan mengabaikan aspek-aspek pembangunan budaya politik demokrasi. Dampaknya yang nyata adalah: pada satu sisi prosedur demokrasi berlangsung, namun budaya politik demokrasi tidak tercipta. Sehingga yang seringkali terjadi adalah berkembangnya kekerasan politik pada negara-negara demokrasi baru ini.
Di Indonesia, kita melihat bahwa sejak tahun 1999 mekanisme pemilihan multi-partai telah diimplementasikan. Pemilihan langsung kepala negara dan anggota parlemen mulai diadopsi sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah langsung juga diadopsi sejak 2005. Akan tetapi, pada banyak kasus pemilihan kepala daerah langsung ini, proses demokrasi selalu saja diwarnai oleh kekerasan politik. Para kandidat yang kalah (serta pendukung-pendukungnya) tidak siap menerima kekalahan dan terus-menerus merongrong kemenangan kandidat yang berhasil memperoleh suara terbanyak.
Salah satu faktor yang menyebabkan terabaikannya pembangunan budaya politik demokrasi dan proses transisi ini adalah kebanyakan lembaga donor berorientasi pada hasil-hasil jangka pendek dan pada kegiatan-kegiatan yang terukur. Padahal, upaya membangun budaya politik demokrasi membutuhkan waktu yang lama, sebab berkaitan dengan perubahan mind-set para penggiat politik.
Contoh kasus ini bisa memberi gambaran. Dalam program bantuan untuk penguatan good governance yang diselenggarakan oleh USAID di Indonesia (Local Governance Support Program, 2004 – 2009), telah dilaksanakan puluhan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam berbagai bidang, termasuk perencanaan pembangunan daerah. Namun, tidak pernah ada mekanisme untuk mengukur seberapa jauh pelatihan tersebut memberi dampak pada perubahan proses perencanaan pembangunan di daerah. Evaluasi program biasanya berakhir pada aspek-aspek tangible saja, misalnya berapa yang hadir (apakah sesuai target atau tidak), atau apakah peserta memahami materinya atau tidak.
Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi diberbagai belahan dunia, terutama pada negara-negara yang mengawali transisi demokrasi dengan krisis. Entitas-entitas domestik umumnya menerima begitu saja tawaran-tawaran untuk melakukan perubahan, tanpa sempat berpikir kritis untuk menilai apakah program bantuan demokrasi tersebut memperoleh tempat dalam sistem nilai dan sistem budaya yang hidup di masyarakat.
Fenomena yang terjadi di Afghanistan dan Iraq menunjukkan gejala tersebut. Dalam batas-batas tertentu, kecenderungan di Indonesia juga menunjukkan fenomena serupa. Akibat pengabaian terhadap pembangunan budaya politik demokrasi dalam proses transisi, kebanyakan proses ini membutuhkan waktu lama, bahkan banyak yang nyaris gagal.
Apa yang ditampilkan di Mesir pada hari-hari terakhir ini dapat dipahami dalam konteks demikian. Presiden Husni Mubarak sangat mengkhawatirkan proses transisi yang berlangsung dengan diawali krisis. Jika ia mundur sekarang, maka yang terjadi adalah krisis politik seketika. Pada saat itulah, berbagai kekuatan internasional akan masuk melalui bantuan demokrasi. Namun disisi lain, tekanan rakyat Mesir terhadap pengunduran dirinya juga perlu segera direspon. Semoga hal ini dapat mencapai titik temu.***