Pada 29-30 September saya mengikuti The Second Annual Conference of Japan Association of Human Security Studies (JAHSS) di Aichi University, Nagoya. Saya juga berkesempatan mempresentasikan paper berjudul Jeopardizing Transition: Freedom of Worship, The Power of Local Government, and Democratization in Indonesia.
Ini momen penting, karena dua alasan personal. Pertama, mempresentasikan paper pada forum akademik bertaraf internasional merupakan syarat wajib menyelesaikan studi S3 di Doshisha University. Kedua, inilah pertama kalinya saya mempresentasikan paper pada forum internasional, yang menurut penilaian saya, bukan hanya sekedar tampil.
Di awali pada Juni 2012, saya mengirimkan extended abstract untuk diseleksi oleh komite ahli. Di website JAHSS terpampang jelas siapa saja ahli-ahli yang bertugas mereview abstract. Lalu, pada pertengahan Juli 2012, diumumkan abstrak-abstrak yang diterima dan dipersilahkan mengirimkan full paper. Alhamdulillah, saya menerima email konfirmasi itu. Mumpung masih ada waktu, saya memperbaiki paper, mengkonsultasikan kepada beberapa teman termasuk juga meminta pandangan Sensei.
Paper yang kita kirimkan kemudian ditampilkan di website konferensi, dapat di download bebas. Ini tentu motivasi untuk membuat paper sebaik mungkin. Publik akan menilai karya kita, sekaligus merupakan pertaruhan kredibilitas penyelenggara. Jika terdapat unsur-unsur yang dapat mencoreng kredibilitas (misalnya dugaan plagiarisme, atau teknik penulisan yang amburadul) bisa merusak reputasi semua. Maka, baik penulis maupun komite pelaksana sangat hati-hati dalam urusan ini. Bagi penulis paper yang karena alasan tertentu tidak ingin papernya di tampilkan di website dipersilahkan menyampaikan kepada komite dengan alasan logis (misalnya masih ada kelemahan data, masih bersifat draft, atau alasan lainnya).
Paper-paper ini ditampilkan sekitar sebulan sebelum pelaksanaan konferensi. Jadi, siapa saja yang tertarik dengan topik dan paper tertentu dapat membaca sejak awal, dan berkesempatan untuk memberikan komentar, pertanyaan, atau sanggahan pada saat konferensi berlangsung. Tentu saja, dengan demikian mereka harus berusaha hadir pada sessi paralel sesuai jadwal presentasi paper yang diminati.
Pada saat sessi paralel berlangsung, setiap sessi menampilkan 3-4 orang presenter. Ada 2 presenter lain yang bersama saya di session dengan sub topik “Democracy, Livelihood, and Migration in Asia“, yaitu Fabiola Tsugami dari Polandia (kandidat Ph.D Waseda University) yang mengangkat topik “Human Trafficking dan Human Security”; dan Bui Thu Thi Sang dari Vietnam (kandidat Ph.D Kyushu University), yang mengangkat tentang Corruption and Human Security. Saya sendiri membahas topik Human Security dan Democratization.
Hal yang menarik adalah pada setiap sesi paralel ini ada seorang komentator ahli yang memberikan ulasan dan tanggapan terhadap setiap paper. Di tangan komentator ahli itu telah ada paper-paper setiap presenter. Begitu selesai presentasi, komentator ahli ini akan memberikan ulasan, komentar, tidak jarang kritikan, untuk kesempurnaan paper. Setelah itu, paralel session chair (moderator) akan mempersilahkan kepada audiens yang hadir untuk memberi komentar.
Di sesi paralel yang saya ikuti, Prof. Dinil Pushpalal dari Tohoku University yang menjadi komentator ahli. Secara pribadi, saya merasa cukup bangga dengan respon Prof. Pushpalal terhadap paper saya. Ia mengatakan bahwa ia membaca paper saya berkali-kali, karena isu yang angkat (menurutnya) menarik. Ia juga mohon maaf kepada dua presenter lain, karena ia tidak sempat membaca detail paper mereka, seperti ia membaca paper saya. Lalu, komentarnya terhadap konten paper pun meluncur dari beliau.
Terasa benar profesionalisme dan kredibilitas akademik dijaga pada konferensi ini. Sebagai presenter, ada kebanggaan tersendiri, sebab kita tahu bahwa paper dan presentasi kita memperoleh penghargaan yang selayaknya. Saya kira, hal paling membahagiakan bagi seseorang yang menulis adalah tulisannya dibaca orang lain. (*)
selamat bro …. smoga tercapai apa yg di cita-citakan….salam untuk keluarga