Sudah sangat lama aktivitas menjemput di Pelabuhan Makassar saya lakukan. Bayangan tentang kekejaman pelayanan di pelabuhan ini pada masa lalu sebenarnya telah sirna. Akhir-akhir ini, semakin banyak kabar baik tentang pelayanan di sini. Apalagi Pelabuhan Makassar telah menggunakan garbarata, seperti yang lazim kita temui di bandara internasional.
Sebelum memasuki kawasan pelabuhan, saya harus membayar Rp. 20.000,-. Rinciannya adalah Rp. 15.000,- untuk tarif masuk mobil yang saya gunakan (ini termasuk pengemudi) dan Rp. 5.000,- untuk tarif masuk orang dewasa. Anak-anak tidak dikenakan tarif. Saya menerima karcis yang sesuai. Dengan jumlah sebesar itu, saya yakin akan ada banyak perbaikan di dalam sana. Apalagi pungutan ini berkarcis resmi. Artinya, duit yang masuk seharusnya terkelola baik.
Ini siang hari yang terik. Azan dhuhur baru saja berkumandang. Setelah memarkir mobil di dekat masjid, saya berputar-putar mencari pintu kedatangan, yaitu tempat dimana saya akan menunggu kedatangan ibu saya. Tetapi, tidak satupun penunjuk yang memberitahu dimana para penjemput bisa menunggu penumpang datang.
Setelah berkeliling dan tidak menemukan pintu kedatangan, saya putuskan ke pintu keberangkatan. Pintu ini jelas dan mudah ditemukan. Selain ada papan bicara yang menyolok, juga ada banyak petugas berjaga. Dengan menyeka keringat bercucuran saya menanyakan dimana pintu kedatangan.
Seorang petugas menjawab tenang: “disebelah sini, pak”, ia menunjuk sebelah kirinya. Disitu adalah pagar terbuat dari seng, bercat warna biru. Rupanya itu pintu yang sedang tertutup. Petugas itu melanjutkan, pintu itu akan terbuka jika penumpang telah turun dari kapal.
Di depan pintu itu ada seorang petugas berseragam berjaga. Di sepanjang jalan depan pintu itu, pada sisi kirinya, terdapat beberapa lapak penjual yang berpayung besar untuk melindungi dagangan dari teriknya matahari.
Para penjemput bergerombol di depan pintu itu, dibawah terpaan matahari siang yang menyengat. Tidak ada tempat berlindung. Beberapa penjemput coba berteduh di bawah payung besar milik pelapak, tetapi para pedagang menggerutu: “tolong jangan halangi dagangan saya”, begitu katanya.
Para penumpang mulai keluar. Jadi saya coba bertahan disitu, berdiri dibawah terik matahari. Tidak butuh waktu lama, keringat mengalir dari jidat dan wajah. Juga sinar matahari siang yang menyengat menggerahkan badan. Untungnya, sekitar 20-an menit saja, ibu yang saya jemput telah tampak keluar.
Saya melihat sekeliling. Ada orang lanjut usia. Ada anak-anak kecil berusia balita. Ada ibu hamil. Semua merasakan siksaan yang sama. Ya, ini penyiksaan. Siapa yang bisa berdiri dibawah terik matahari siang dan menikmatinya?
Ketika meninggalkan tempat itu, terbayangkan uang Rp. 20.000,- yang saya bayarkan di pintu masuk kawasan pelabuhan tadi. Tiba-tiba saja, saya sangat tidak ikhlas mengeluarkannya. Apalagi, setelah beberapa saat berpikir-pikir, tidak ada hikmah apapun yang bisa saya ambil.
Hei, otoritas pelabuhan! Gunakanlah uang kami membangun pelindung, agar kami bisa menjemput kerabat dan keluarga tanpa perlu tersiksa. Kami membayar bukan untuk dijemur seperti dendeng. (*)